Alhamdulillah, senang banget LMCR tahun ini sekali lagi bisa masuk nominasi, meskipun hanya sebagai Pemenang Favorit dan namaku ada dideretan 112 dengan karya berjudul SAAT KURAPUH.
Tahun 2010 yang lalu, aku juga sempat ikut Lomba yang sama dan tahun
itu aku juga berhasil masuk nominasi sebagai Pemenang Favorit urutan 11 dengan
Cerpen berjudul Akhir Yang Indah.
Fantastis, apalagi itu pengalaman pertamaku dan bisa terpilih dari lebih 4000
karya yang masuk ke meja panitia. Seneng banget....!!
Sayangnya ditahun 2011, karya yang aku kirimkan sama sekali nggak
masuk dalam nominasi Pemenang. Hah, tahun 2011 memang waktu redupku dalam
berkarya. Menghasilkan tulisan pendek pun sama sekali nggak bisa. Masa-masa
kelam pokoknya. Dan syukurlah, tahun ini aku bisa kembali menjadi Pemenang
Favorit. Alhamdulillah yach.. *gaya Syahrini*
Sebenarnya dalam LMCR kali ini, aku mengirimkan 4 Karya dengan judul:
Burung-Burung Kertas, Mencintaimu Sehari, Impian Seorang Ibu dan Saat Kurapuh.
Aku bahkan menjagokan Cerpen “Impian
Seorang Ibu” diantara cerpen lainnya, soalnya kata-kata dalam Cerpen itu
Puitis banget, agak-agak mirip Cerpen Liris gitu dech, apalagi Cerpen itu
terinspirasi dari kisah seseorang. Eh taunya yang menang malah cerpen dengan
judul Saat Kurapuh. Kejutan banget
SAAT KURAPUH adalah sebuah
Cerpen yang sudah kutulis sejak 5 Juni 2004 yang lalu. Waktu itu aku lagi kesal-kesalnya
karena semester dua kuliah, IPK-ku menurun. Padahal waktu semester satu aku
berhasil meraih IPK sempurna 4,00 dengan nilai semuanya A. Sementara semester
dua aku mendapat dua nilai B. Dan itu terjadi karena aku lagi ketagihan banget
sama Chatting. Waktu itu masih jaman
MIRC sich. Walhasil, nilaiku menurun. Dan aku strees berat. Karena nggak tau
mau ngaduh sama siapa, maka semua kekecewaan itu aku tuangkan dalam tulisan. Dan
jadilah cerpen itu. Sekian lama nganggur dalam buku tulis, sampai akhirnya
dipindahin ke Laptop, akhirnya Cerpen yang sudah nyaris dilupakan itu berhasil
menjadi Pemenang Favorit. Hahay....senengnya nggak kebayang dech. Pokoknya,
surprise banget.
Ceritanya sederhana, kesannya malah seperti orang yang lagi numpahin
kekesalannya. Kata-katanya juga masih terkesan jadul, maklum ditulisnya
beberapa tahun yang lalu. Tapi nggak tau kenapa Cerpen ini yang malah terpilih
sebagai Pemenang ^^
Karena Juri sudah menilai, sekarang giliran kalian....
SAAT KURAPUH
Sebuah Cerpen Karya Murthy F. Rone
Ini merupakan hari berat untukku. Hari yang harus
kulalui dengan segenap kekuatan yang tersisa. Meski kini seisi dunia tak
berpihak lagi padaku, membiarkan aku tenggelam dalam kekecewaan yang teramat
dalam, namun aku harus bisa untuk bangkit dan kembali berpijak. Aku pasti
bisa!! Disaat semua penghuni rumah terus menyerangku dan tak henti-hentinya
menyalahkanku, karena akhir semester ini aku tak berhasil meraih peringkat
pertama. Ini pertama kalinya aku merasakan kekalahan dalam hidupku, kekalahan
yang sangat pahit, setelah sekian lama aku menikmati kemenangan dengan nilai
tertinggi. Aku sungguh kecewa, belum lagi Mama dan Kak Vien yang terus
menyerangku dengan sejuta pertanyaan yang tak mampu kujawab. Chatting-lah, Facebook-lah dan segala kecanggihan internet yang selalu jadi
senjata ampuh mereka untuk membuatku semakin tenggelam dalam rasa penyesalan.
Memang sich yang mereka katakan itu benar, hampir sebulan ini aku memang
ketagihan dengan internet, bahkan uang jajanku ludes buat ongkos warnetku.
Waktu luangku juga banyak yang tersita. Tapi, apa salahnya semua itu?? Aku kan
hanya ingin memanfaatkan kecanggihan teknologi saja. Browsing internet bukanlah
hal yang cukup membahayakan, bila ketagihannya harus dibandingkan dengan
ketagihan obat-obat terlarang. Justru dengan browsing internet, aku bisa
menambah ilmu pengetahuanku tentang dunia luar. Aku juga bisa mendapatkan
banyak teman dari luar daerah dengan memanfaatkan situs jejaring sosial Facebook. Dan masih banyak lagi manfaat
positif yang bisa aku peroleh dengan kecanggihan internet. Apalah artinya
prestasi yang selama ini kuraih, bila gadis seumuranku sama sekali tak mengenal
kecanggihan internet. Apa kata dunia jika seorang Disa yang selama sekolah
selalu menyabet peringkat pertama, dengan segala prestasi dalam beberapa lomba,
tapi sama sekali buta akan kecanggihan internet. Sungguh, pasti nasibku tak
akan beda dengan ‘Katak dalam Tempurung’. Begitu menyedihkan….!!
Tapi itulah
keluargaku, mereka tidak pernah mau mengerti keadaanku. Yang mereka inginkan
hanyalah aku harus menjadi yang terbaik dari semua orang. HARUS!! Padahal kalau
mau dibandingkan dengan kekecewaan mereka, mungkin kekecewaanku yang paling
parah. Aku yang mati-matian belajar selama enam bulan ini. Aku yang sudah lelah
dengan segala kursus yang kuikuti dan kini semuanya telah hancur, sementara
penyesalan tak akan mampu mengembalikan semuanya seperti awal.
Hanya Papa-lah yang selalu menghibur dan memberi aku dukungan. Papa
yang selama ini dengan susah payah membiayai uang semesterku yang sangat mahal
dan kini aku telah mengecewakannya. Sungguh, rasanya aku tak sanggup menghadapi
semuanya.
Bel masuk baru
saja berbunyi. Aku melangkahkan kakiku dengan lesu. Sedih, sesal, kesal, kini
bercampur dalam benakku. Namun aku berusaha untuk tegar. Kuusahakan!!
Bagaimanapun, semua orang tau tentang sikapku yang tak pernah menyerah, apalagi
mengaku kalah. Sesaat kuhentikan langkahku di depan ruang kelas 11-A, ruang kelasku.
Aku menengok kedalam, semua siswa tampak sibuk dengan aktivitas mereka
masing-masing. Kembali kutarik langkahku menjauh dari ruangan itu, padahal
sebentar lagi pelajaran Bahasa Inggris akan dimulai. Aku lebih memilih
menyendiri, menelusuri jalan-jalan sepi disudut kelasku saat ini.
“Disa” langkahku
terhenti mendengar namaku dipanggil, namun aku tak berniat menoleh padanya.
“Kenapa kamu
nggak masuk Dis, bentar lagi pelajaran udah mau dimulai” aku tau itu suara
Dewa. Aku juga tau kalau Pelajaran Bahasa Inggris akan dimulai sebentar lagi,
pelajaran yang paling aku senangi, namun mata pelajaran itulah yang justru
membuat perbedaan nilai antara aku dan Dewa. Perbedaan yang kini bisa membuat
Dewa tersenyum bangga dengan kemenangannya. Aku tak menjawab, lalu kulanjutkan
langkahku meninggalkannya
“Disa” lagi-lagi
Dewa mencegah langkahku “Sampai kapan kamu akan seperti ini??” lanjutnya
membuatku malas
“Udahlah Wa, kamu
nggak usah sok jadi Dewa Penolong yang peduli pada nasibku” jawabku sinis
“Jujur saja, kamu senangkan liat aku seperti ini?? Apa kamu belum puas juga
meraih nilai tertinggi? Apa kamu masih ingin menyempurnakan kemenanganmu dengan
menertawakan aku, mengejek aku atau….”
“Cukup Disa!!”
Ini pertama kalinya Dewa membentakku, meskipun selama ini kita memang sering
terlibat pertengkaran hebat. Bukan hanya sering, bahkan hampir setiap saat.
Kita berdua bagai kucing dan tikus yang tak akan pernah akur seperti dalam
serial Tom & Jerry. Dan semua orang tau akan hal itu, termasuk Pak Idrus,
wali kelas kami. Dalam pembagian kelompok belajar, kita berdua tak pernah
disatukan. Duduk pun kita memilih untuk berjauhan. Aku duduk di jejeran sudut
kiri depan, sedangkan Dewa di sudut kanan belakang. Meskipun dengan jarak
sejauh itu kita masih saja sering bertengkar. Lalu, mengapa kali ini Dewa
membentakku?? Apa ucapanku tadi benar-benar menyakiti hatinya? Lebih sakitkah
dari tamparanku saat dia membacakan isi diaryku didepan kelas??
“Dis, apa kamu
marah karena aku sudah merebut peringkatmu??” ujar Dewa membuatku tersentak.
Aku tak menyangka dia akan berkata seperti itu
“Apa, Marah??
Kamu bilang aku Marah?! Buat apa?!” ujarku tertawa sinis “Mungkin itu sudah
keberuntunganmu. Lagi pula selama ini kamu juga selalu kalah dariku. Jadi
anggap saja kali ini aku memang sengaja mengalah untukmu!!” tegasku lantas
hendak berlalu darinya. Tapi lagi-lagi Dewa menghentikan langkahku
“Sebenarnya aku
ingin sekali bertengkar denganmu !! Tapi aku benci liat kamu lemah seperti saat
ini!!” ujar Dewa mengakhiri ucapannya. Meskipun tetap tak menoleh, tapi aku tau
kalau kini Dewa sudah melangkah pergi meninggalkanku. Meninggalkan aku dalam
kesendirian!!
***
Sudah seminggu
ini rasanya aku seperti kehilangan nafsu makan. Perutku sudah kenyang dengan
komentar orang-orang tentang nilai raportku semester ini. Tatapan sinis, senyum
mengejek, sindiran kecil, bahkan ucapan syukur seringkali menyerangku. Aku
bahkan baru sadar, kalau ternyata selama ini begitu banyak orang yang
membenciku. Yang aku dengar dari mereka, aku ini terlampau egois dan ambisi.
Sungguh, aku benar-benar baru tau akan hal itu dan itu membuatku semakin sedih.
Aku benar-benar merasa seorang diri. Mereka yang kuanggap teman kini telah
menjauh. Ternyata selama ini mereka hanya memanfaatkan kepintaranku saja dengan
numpang menyontek dan kerja PR. Dan disaat aku rapuh seperti saat ini, mereka
malah meninggalkan aku seorang diri.
Tapi anehnya, Dewa justru menunjukkan sikap
sebaliknya. Sekalipun dia tak pernah menertawakan aku, menyindir, tertawa
mengejek atau bahkan memamerkan kemenangannya dihadapanku. Tidak sepertiku
setiap kali meraih nilai tertinggi. Dewa mungkin tidak seangkuh diriku!!
Malam ini dengan
berat aku ikut bergabung di meja makan, padahal biasanya aku selalu melewati
acara makan malamku sendirian dalam kamar. Tapi karena saat ini ada Tante Rike
juga anaknya, Sally. Aku hanya ingin menghargai mereka saja, apalagi besok
mereka sudah harus balik ke Bandung, karena Sally tak ingin terlalu lama bolos
sekolah.
“Gimana nilai
raport kamu Disa? Pasti semester ini kamu di peringkat satu lagi kan??” ujar
Tante Rike seketika membuatku tersedak “Tante bangga sekali sama kamu Disa,
karena selama sekolah nilai kamu selalu yang tertinggi, beda dengan Sally”
buru-buru aku meneguk segelas air putih untuk menghilangkan sesuatu yang terasa
mengganjal tenggorokanku.
“Enggak Tante, semester ini aku diperingkat dua”
kulihat Sally tertawa kecil mendengar jawabanku barusan
“Apa??”T ante Rike begitu kaget mendengar
jawabanku “Maksud kamu, nilai kamu menurun??” lanjutnya seakan masih tak
percaya
“Iya” jawabku pelan. Aku pastikan saat ini Sally
sedang tertawa puas
“Kenapa bisa begitu Disa??” Tante Sally terus
memburuku
“Semua karena Internet” jawab Mama cepat sebelum
aku sempat memberi penjelasan “Semenjak dia kenal yang namanya kecanggihan
internet, dia sudah tidak pernah belajar lagi. Semua waktunya hanya dihabiskan
diwarnet. Mama sudah berapa kali bilang supaya dia tidak lagi bermain internet,
tapi ucapan Mama hanya dianggapnya sebagai angin lalu saja. Masuk telinga
kanan, keluar telinga kiri. Dan kini apa hasilnya?? Bisanya mengecewakan orang
tua saja” ucapan Mama barusan bagai sembilu tajam yang mengiris tepat dijantungku.
Sakit.
“Mama pikir hanya Mama saja yang kecewa?? Aku
juga, Ma!! Aku yang mati-matian belajar selama enam bulan ini. Hanya saja….”
“Kalau kamu belajar, nilai kamu tak akan mungkin
menurun seperti ini!!” Air mata kini menggenangi dua kelopak mataku, satu
kedipan saja wajahku pasti akan basah oleh alirannya. Tapi tak kulakukan.
Pantang bagi seorang Disa untuk menangis saat ini, apalagi didepan Sally. Dia
bisa saja tertawa sambil berdarah-darah jika melihatku menangis
“Atau….mungkin saja Disa udah mulai pacaran
Tante” akhirnya Sally memiliki kesempatan untuk menyerangku juga. Dia yang
selama ini hanya bisa menahan diri setiap kali Tante Rike memujiku
dihadapannya. Aku bisa membayangkan bagaimana perasaannya. Dan kini, dia seolah
berhasil membalaskan dendamnya padaku.
Tanpa menunggu lama, bergegas aku meninggalkan
meja makan, meski makananku belum tersentuh sama sekali. Sebelum mereka kembali
menyerangku, lebih baik aku pergi saja dengan membawa sakit hatiku. Aku pun
berlari meninggalkan rumah, berjalan entah kemana. Meski hujan gerimis kini
membasahi wajahku, aku tetap tak peduli!! Sesaat aku menatap ke langit mencari
tempat mengaduh, namun bintang yang selalu menemani kesendirianku juga seakan
raib ditelan awan hitam yang menggumpal. Sungguh aku benar-benar merasa seorang
diri kali ini!!
Aku duduk dibangku taman, ketika HP mungilku
tiba-tiba berbunyi.
“Halo Disa, ini aku Dewa..!!”
“Kenapa??” jawabku malas
“Kamu ini apa-apaan sich? Kenapa kamu nggak
umumin kalo besok kita ulangan kimia? Kalo saja tadi sore aku nggak ketemu Pak
Idrus, pasti besok nggak ada seorang pun yang tau kalau kita ulangan. Kamu
sengaja yach…??!!” aku hanya terdiam mendengar tuduhan Dewa padaku
“Disa…kamu dengar nggak?!” nada suara Dewa kini
meninggi, kedengarannya dia mulai kesal
“Please Wa, aku lagi nggak ingin berantem saat
ini” ujarku pelan sambil berusaha menahan tangisku agar tak terdengar olehnya.
Namun percuma….
“Dis, kamu nangis yach? Apa yang terjadi? Kamu
baik-baik aja kan? Kamu dimana Dis….”
Klik, aku mematikan HPku dan tak kuaktifkan lagi agar tak ada seorang
pun yang bisa menghubungiku, terlebih Dewa. Aku tak ingin dia tau perihku saat
ini.
Setelah hampir
setengah jam terdiam, aku pun kembali berjalan tanpa arah. Rasanya aku ingin
pergi saja dari dunia ini, tenggelam dalam perut bumi hingga tak ada lagi yang
akan menyakitiku. Aku sudah tak sanggup!! Aku pun melangkah menyebrangi jalan,
tak peduli meski kendaraan begitu ramai. Klakson mobil truk nyaris memecah
gendang telingaku, namun tak sedikit pun aku berniat menghindar, meski kini
truk itu telah mendekat ke arahku.
“Semenjak
dia kenal yang namanya kecanggihan internet, dia sudah tidak pernah belajar
lagi. Bisanya mengecewakan orang tua saja”
“Mama pikir
hanya Mama saja yang kecewa?? Aku juga, Ma!! Aku yang mati-matian belajar
selama enam bulan ini”
“Kalau kamu
belajar, nilai kamu tak akan mungkin menurun!!”
Ucapan menyakitkan Mama kembali terlintas dalam ingatanku, seakan
mengiris batin.
“Atau….mungkin
saja Disa udah mulai pacaran Tante”
“Kamu ini
apa-apaan sich Dis? Kenapa kamu nggak umumin kalo besok kita ulangan kimia?
Kamu sengaja yach…??!!” Ucapan Sally, juga tuduhan Dewa seakan ikut menyerangku. Rasanya aku
tak kuat lagi. Aku ingin mati saja!!
Aku pun memejamkan mata, berharap ketika aku
membukanya nanti semua beban ini akan hilang dan membawaku ke dunia lain,
hingga aku tak akan pernah bertemu mereka lagi. Mereka yang selalu menyakitiku.
Aku sudah siap dengan semua itu. Kurasakan mobil truk tadi semakin mendekat
kearahku. Tiba-tiba tubuhku seperti terdorong sesuatu, hingga aku tersungkur ke
tepi jalan. Meskipun merasakan perih, namun anehnya tubuhku tidak apa-apa,
hanya ada beberapa goresan kecil
dibagian lengan dan kaki.
“Dewa…” ujarku
kaget setelah sadar kalau barusan aku tak berhasil bunuh diri. Dia yang menggagalkannya.
Dia yang mendorong tubuhku hingga aku bisa terbebas dari hantaman truk dengan
kecepatan tinggi yang hampir saja merenggut nyawaku
“Apa-apaan ini
Dis, kamu ingin mati yah??” Dewa kelihatan sangat marah menatapku. Aku hanya
terdiam dan kini duduk ditepi jalan dengan kepala tertunduk
“Kenapa? Karena
keluargamu terus menyalahkan kamu, lalu kamu sedih dan sekarang mau bunuh diri.
Iya Dis?! Aku nggak nyangka kamu selemah ini”
“Kamu nggak tau
apa yang barusan aku alami. Kamu nggak dengar betapa tajam ucapan Mama saat
makan malam tadi. Kamu juga nggak dengar tuduhan Sally padaku. Kamu nggak akan
pernah ngerti keluargaku” disaat seperti ini pun aku dan Dewa masih saja
bertengkar. Tapi entah kenapa, kali ini aku merasa sangat lemah, seakan semua
kekuatanku telah hilang. Dan dengan segenap kekuatan yang tersisa, aku berusaha
membendung tangisku yang perlahan mulai menetes diwajahku. Aku tak ingin
terlihat lemah dihadapan Dewa. Aku tak mau dia melihatku menangis. Aku tak mau
dia menertawakan aku. Sesaat kita berdua terdiam!
“Udahlah Dis,
kalo mau nangis, nangis aja. Nggak usah berusaha tegar kalau sebenarnya kamu
itu sangat lemah. Aku tau saat ini jiwamu rapuh. Mungkin memang aku tidak bisa
mengerti keluargamu, tapi aku bisa merasakan semua kekecewaanmu. Aku juga….”
Dewa belum menyelesaikan ucapannya, namun tangisku sudah tak bisa kubendung
lagi. Kini aku mulai menangis sejadinya, menumpahkan semua bebanku yang selama
ini menyesakkan dadaku. Aku terus saja menangis, tak peduli meski kini dunia
akan menertawakanku. Menertawakan aku yang begitu lemah melewati kehidupan ini,
hingga harus memilih mengakhiri kehidupanku.
“Dis” pelan Dewa
menyentuh bahuku dan perlahan dia duduk disisiku
“Menangislah
sepuasnya, mungkin dengan begitu kamu akan merasa lebih tenang. Seandainya kamu
mau, kamu boleh bersandar dibahuku untuk menumpahkan semua bebanmu selama ini.
Kamu pasti akan merasa lebih baik” ucapan Dewa barusan membuat tangisku semakin
jadi. Aku pun kini bersandar dibahunya, menumpahkan semua bebanku yang selama ini
kupendam. Meskipun hanya sesaat, tapi aku bisa merasakan tenang.
“Dis, dalam saat
yang penuh kegelapan dan kepedihan, ingatlah bahwa segala sesuatu berputar.
Kadang kita memang bisa tertawa bahagia diatas roda kehidupan. Namun ada
saatnya kita juga akan merasakan kepedihan ketika harus tergilas roda yang
sama. Dan mungkin hanya orang bijaklah yang bisa menerima setiap kekalahannya”
perlahan aku menghapus air mataku yang mulai terhenti alirannya
“Ada kata bijak
yang bilang, kalau kebahagiaan tersedia bagi mereka yang menangis, mereka yang
disakiti hatinya, mereka yang mencari dan mereka yang mencoba. Semoga cobaan
ini akan cukup untuk membuatmu lebih kuat. Kesedihanmu ini akan cukup untuk
membuatmu manusiawi lagi. Karena kamu hanya memiliki satu kehidupan dan satu
kesempatan. Itulah sebabnya, kamu harus menjalani kehidupanmu ini dengan sangat
indah dan jangan pernah berpikir untuk menggantikannya dengan kehidupan lain
yang lebih abadi”
Sungguh ucapan Dewa membuat aku sadar atas kebodohanku. Andai saja Mama
ada disini dan ikut mendengarkan ucapan Dewa barusan, mungkin Mama bisa
mengerti perasaanku. Mungkin Mama akan sadar kalau ucapannya selama ini sangat
melukaiku. Maafkan aku Dewa yang selama ini begitu membencimu, begitu
menyakitimu! Dan kini disaat kurapuh, hanya kamu yang hadir memberiku dukungan.
Kamu yang selama ini juga tenggelam dalam kekalahan yang selalu kuhadiahkan
padamu.
“Dis…” suara Dewa
menyadarkan aku dari lamunan
“Sudah larut malam, biar aku antar kamu pulang. Mulai saat ini
kamu tidak akan sendiri lagi di dunia ini. Ada aku yang akan selalu menemani
kamu, aku yang akan mendengarkan semua keluhanmu” perlahan Dewa meraih jemariku
dan menuntun aku melangkah pulang bersamanya. Aku pun mengikutinya, melangkah
menyusuri indahnya malam bersama hembusan angin dan rintikan gerimis. Semoga
esok matahari akan membawa cerah juga kehangatan, menemaniku melewati kehidupan
ini, kehidupan baru yang sangat indah, tentunya bersama Dewa***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar