25 Oktober 2013

LMCR 2013 (Saat Kurapuh)


Alhamdulillah, senang banget LMCR tahun ini sekali lagi bisa masuk nominasi, meskipun hanya sebagai Pemenang Favorit dan namaku ada dideretan 112 dengan karya berjudul SAAT KURAPUH.

Tahun 2010 yang lalu, aku juga sempat ikut Lomba yang sama dan tahun itu aku juga berhasil masuk nominasi sebagai Pemenang Favorit urutan 11 dengan Cerpen berjudul Akhir Yang Indah. Fantastis, apalagi itu pengalaman pertamaku dan bisa terpilih dari lebih 4000 karya yang masuk ke meja panitia. Seneng banget....!!
Sayangnya ditahun 2011, karya yang aku kirimkan sama sekali nggak masuk dalam nominasi Pemenang. Hah, tahun 2011 memang waktu redupku dalam berkarya. Menghasilkan tulisan pendek pun sama sekali nggak bisa. Masa-masa kelam pokoknya. Dan syukurlah, tahun ini aku bisa kembali menjadi Pemenang Favorit. Alhamdulillah yach.. *gaya Syahrini*

Sebenarnya dalam LMCR kali ini, aku mengirimkan 4 Karya dengan judul: Burung-Burung Kertas, Mencintaimu Sehari, Impian Seorang Ibu dan Saat Kurapuh. Aku bahkan menjagokan Cerpen “Impian Seorang Ibu” diantara cerpen lainnya, soalnya kata-kata dalam Cerpen itu Puitis banget, agak-agak mirip Cerpen Liris gitu dech, apalagi Cerpen itu terinspirasi dari kisah seseorang. Eh taunya yang menang malah cerpen dengan judul Saat Kurapuh. Kejutan banget

SAAT KURAPUH adalah sebuah Cerpen yang sudah kutulis sejak 5 Juni 2004 yang lalu. Waktu itu aku lagi kesal-kesalnya karena semester dua kuliah, IPK-ku menurun. Padahal waktu semester satu aku berhasil meraih IPK sempurna 4,00 dengan nilai semuanya A. Sementara semester dua aku mendapat dua nilai B. Dan itu terjadi karena aku lagi ketagihan banget sama Chatting. Waktu itu masih jaman MIRC sich. Walhasil, nilaiku menurun. Dan aku strees berat. Karena nggak tau mau ngaduh sama siapa, maka semua kekecewaan itu aku tuangkan dalam tulisan. Dan jadilah cerpen itu. Sekian lama nganggur dalam buku tulis, sampai akhirnya dipindahin ke Laptop, akhirnya Cerpen yang sudah nyaris dilupakan itu berhasil menjadi Pemenang Favorit. Hahay....senengnya nggak kebayang dech. Pokoknya, surprise banget.

Ceritanya sederhana, kesannya malah seperti orang yang lagi numpahin kekesalannya. Kata-katanya juga masih terkesan jadul, maklum ditulisnya beberapa tahun yang lalu. Tapi nggak tau kenapa Cerpen ini yang malah terpilih sebagai Pemenang ^^
Karena Juri sudah menilai, sekarang giliran kalian....

SAAT KURAPUH
Sebuah Cerpen Karya Murthy F. Rone

Ini merupakan hari berat untukku. Hari yang harus kulalui dengan segenap kekuatan yang tersisa. Meski kini seisi dunia tak berpihak lagi padaku, membiarkan aku tenggelam dalam kekecewaan yang teramat dalam, namun aku harus bisa untuk bangkit dan kembali berpijak. Aku pasti bisa!! Disaat semua penghuni rumah terus menyerangku dan tak henti-hentinya menyalahkanku, karena akhir semester ini aku tak berhasil meraih peringkat pertama. Ini pertama kalinya aku merasakan kekalahan dalam hidupku, kekalahan yang sangat pahit, setelah sekian lama aku menikmati kemenangan dengan nilai tertinggi. Aku sungguh kecewa, belum lagi Mama dan Kak Vien yang terus menyerangku dengan sejuta pertanyaan yang tak mampu kujawab. Chatting-lah, Facebook-lah dan segala kecanggihan internet yang selalu jadi senjata ampuh mereka untuk membuatku semakin tenggelam dalam rasa penyesalan. Memang sich yang mereka katakan itu benar, hampir sebulan ini aku memang ketagihan dengan internet, bahkan uang jajanku ludes buat ongkos warnetku. Waktu luangku juga banyak yang tersita. Tapi, apa salahnya semua itu?? Aku kan hanya ingin memanfaatkan kecanggihan teknologi saja. Browsing internet bukanlah hal yang cukup membahayakan, bila ketagihannya harus dibandingkan dengan ketagihan obat-obat terlarang. Justru dengan browsing internet, aku bisa menambah ilmu pengetahuanku tentang dunia luar. Aku juga bisa mendapatkan banyak teman dari luar daerah dengan memanfaatkan situs jejaring sosial Facebook. Dan masih banyak lagi manfaat positif yang bisa aku peroleh dengan kecanggihan internet. Apalah artinya prestasi yang selama ini kuraih, bila gadis seumuranku sama sekali tak mengenal kecanggihan internet. Apa kata dunia jika seorang Disa yang selama sekolah selalu menyabet peringkat pertama, dengan segala prestasi dalam beberapa lomba, tapi sama sekali buta akan kecanggihan internet. Sungguh, pasti nasibku tak akan beda dengan ‘Katak dalam Tempurung’. Begitu menyedihkan….!!
                Tapi itulah keluargaku, mereka tidak pernah mau mengerti keadaanku. Yang mereka inginkan hanyalah aku harus menjadi yang terbaik dari semua orang. HARUS!! Padahal kalau mau dibandingkan dengan kekecewaan mereka, mungkin kekecewaanku yang paling parah. Aku yang mati-matian belajar selama enam bulan ini. Aku yang sudah lelah dengan segala kursus yang kuikuti dan kini semuanya telah hancur, sementara penyesalan tak akan mampu mengembalikan semuanya seperti awal.
Hanya Papa-lah yang selalu menghibur dan memberi aku dukungan. Papa yang selama ini dengan susah payah membiayai uang semesterku yang sangat mahal dan kini aku telah mengecewakannya. Sungguh, rasanya aku tak sanggup menghadapi semuanya.
                Bel masuk baru saja berbunyi. Aku melangkahkan kakiku dengan lesu. Sedih, sesal, kesal, kini bercampur dalam benakku. Namun aku berusaha untuk tegar. Kuusahakan!! Bagaimanapun, semua orang tau tentang sikapku yang tak pernah menyerah, apalagi mengaku kalah. Sesaat kuhentikan langkahku di depan ruang kelas 11-A, ruang kelasku. Aku menengok kedalam, semua siswa tampak sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Kembali kutarik langkahku menjauh dari ruangan itu, padahal sebentar lagi pelajaran Bahasa Inggris akan dimulai. Aku lebih memilih menyendiri, menelusuri jalan-jalan sepi disudut kelasku saat ini.
                “Disa” langkahku terhenti mendengar namaku dipanggil, namun aku tak berniat menoleh padanya.
                “Kenapa kamu nggak masuk Dis, bentar lagi pelajaran udah mau dimulai” aku tau itu suara Dewa. Aku juga tau kalau Pelajaran Bahasa Inggris akan dimulai sebentar lagi, pelajaran yang paling aku senangi, namun mata pelajaran itulah yang justru membuat perbedaan nilai antara aku dan Dewa. Perbedaan yang kini bisa membuat Dewa tersenyum bangga dengan kemenangannya. Aku tak menjawab, lalu kulanjutkan langkahku meninggalkannya
                “Disa” lagi-lagi Dewa mencegah langkahku “Sampai kapan kamu akan seperti ini??” lanjutnya membuatku malas
                “Udahlah Wa, kamu nggak usah sok jadi Dewa Penolong yang peduli pada nasibku” jawabku sinis “Jujur saja, kamu senangkan liat aku seperti ini?? Apa kamu belum puas juga meraih nilai tertinggi? Apa kamu masih ingin menyempurnakan kemenanganmu dengan menertawakan aku, mengejek aku atau….”
                “Cukup Disa!!” Ini pertama kalinya Dewa membentakku, meskipun selama ini kita memang sering terlibat pertengkaran hebat. Bukan hanya sering, bahkan hampir setiap saat. Kita berdua bagai kucing dan tikus yang tak akan pernah akur seperti dalam serial Tom & Jerry. Dan semua orang tau akan hal itu, termasuk Pak Idrus, wali kelas kami. Dalam pembagian kelompok belajar, kita berdua tak pernah disatukan. Duduk pun kita memilih untuk berjauhan. Aku duduk di jejeran sudut kiri depan, sedangkan Dewa di sudut kanan belakang. Meskipun dengan jarak sejauh itu kita masih saja sering bertengkar. Lalu, mengapa kali ini Dewa membentakku?? Apa ucapanku tadi benar-benar menyakiti hatinya? Lebih sakitkah dari tamparanku saat dia membacakan isi diaryku didepan kelas??
                “Dis, apa kamu marah karena aku sudah merebut peringkatmu??” ujar Dewa membuatku tersentak. Aku tak menyangka dia akan berkata seperti itu
                “Apa, Marah?? Kamu bilang aku Marah?! Buat apa?!” ujarku tertawa sinis “Mungkin itu sudah keberuntunganmu. Lagi pula selama ini kamu juga selalu kalah dariku. Jadi anggap saja kali ini aku memang sengaja mengalah untukmu!!” tegasku lantas hendak berlalu darinya. Tapi lagi-lagi Dewa menghentikan langkahku
                “Sebenarnya aku ingin sekali bertengkar denganmu !! Tapi aku benci liat kamu lemah seperti saat ini!!” ujar Dewa mengakhiri ucapannya. Meskipun tetap tak menoleh, tapi aku tau kalau kini Dewa sudah melangkah pergi meninggalkanku. Meninggalkan aku dalam kesendirian!!

***

                Sudah seminggu ini rasanya aku seperti kehilangan nafsu makan. Perutku sudah kenyang dengan komentar orang-orang tentang nilai raportku semester ini. Tatapan sinis, senyum mengejek, sindiran kecil, bahkan ucapan syukur seringkali menyerangku. Aku bahkan baru sadar, kalau ternyata selama ini begitu banyak orang yang membenciku. Yang aku dengar dari mereka, aku ini terlampau egois dan ambisi. Sungguh, aku benar-benar baru tau akan hal itu dan itu membuatku semakin sedih. Aku benar-benar merasa seorang diri. Mereka yang kuanggap teman kini telah menjauh. Ternyata selama ini mereka hanya memanfaatkan kepintaranku saja dengan numpang menyontek dan kerja PR. Dan disaat aku rapuh seperti saat ini, mereka malah meninggalkan aku seorang diri.
Tapi anehnya, Dewa justru menunjukkan sikap sebaliknya. Sekalipun dia tak pernah menertawakan aku, menyindir, tertawa mengejek atau bahkan memamerkan kemenangannya dihadapanku. Tidak sepertiku setiap kali meraih nilai tertinggi. Dewa mungkin tidak seangkuh diriku!!
                Malam ini dengan berat aku ikut bergabung di meja makan, padahal biasanya aku selalu melewati acara makan malamku sendirian dalam kamar. Tapi karena saat ini ada Tante Rike juga anaknya, Sally. Aku hanya ingin menghargai mereka saja, apalagi besok mereka sudah harus balik ke Bandung, karena Sally tak ingin terlalu lama bolos sekolah.
                “Gimana nilai raport kamu Disa? Pasti semester ini kamu di peringkat satu lagi kan??” ujar Tante Rike seketika membuatku tersedak “Tante bangga sekali sama kamu Disa, karena selama sekolah nilai kamu selalu yang tertinggi, beda dengan Sally” buru-buru aku meneguk segelas air putih untuk menghilangkan sesuatu yang terasa mengganjal tenggorokanku.
“Enggak Tante, semester ini aku diperingkat dua” kulihat Sally tertawa kecil mendengar jawabanku barusan
“Apa??”T ante Rike begitu kaget mendengar jawabanku “Maksud kamu, nilai kamu menurun??” lanjutnya seakan masih tak percaya
“Iya” jawabku pelan. Aku pastikan saat ini Sally sedang tertawa puas
“Kenapa bisa begitu Disa??” Tante Sally terus memburuku
“Semua karena Internet” jawab Mama cepat sebelum aku sempat memberi penjelasan “Semenjak dia kenal yang namanya kecanggihan internet, dia sudah tidak pernah belajar lagi. Semua waktunya hanya dihabiskan diwarnet. Mama sudah berapa kali bilang supaya dia tidak lagi bermain internet, tapi ucapan Mama hanya dianggapnya sebagai angin lalu saja. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Dan kini apa hasilnya?? Bisanya mengecewakan orang tua saja” ucapan Mama barusan bagai sembilu tajam yang mengiris tepat dijantungku. Sakit.
“Mama pikir hanya Mama saja yang kecewa?? Aku juga, Ma!! Aku yang mati-matian belajar selama enam bulan ini. Hanya saja….”
“Kalau kamu belajar, nilai kamu tak akan mungkin menurun seperti ini!!” Air mata kini menggenangi dua kelopak mataku, satu kedipan saja wajahku pasti akan basah oleh alirannya. Tapi tak kulakukan. Pantang bagi seorang Disa untuk menangis saat ini, apalagi didepan Sally. Dia bisa saja tertawa sambil berdarah-darah jika melihatku menangis
“Atau….mungkin saja Disa udah mulai pacaran Tante” akhirnya Sally memiliki kesempatan untuk menyerangku juga. Dia yang selama ini hanya bisa menahan diri setiap kali Tante Rike memujiku dihadapannya. Aku bisa membayangkan bagaimana perasaannya. Dan kini, dia seolah berhasil membalaskan dendamnya padaku.
Tanpa menunggu lama, bergegas aku meninggalkan meja makan, meski makananku belum tersentuh sama sekali. Sebelum mereka kembali menyerangku, lebih baik aku pergi saja dengan membawa sakit hatiku. Aku pun berlari meninggalkan rumah, berjalan entah kemana. Meski hujan gerimis kini membasahi wajahku, aku tetap tak peduli!! Sesaat aku menatap ke langit mencari tempat mengaduh, namun bintang yang selalu menemani kesendirianku juga seakan raib ditelan awan hitam yang menggumpal. Sungguh aku benar-benar merasa seorang diri kali ini!!
Aku duduk dibangku taman, ketika HP mungilku tiba-tiba berbunyi.
“Halo Disa, ini aku Dewa..!!”
“Kenapa??” jawabku malas
“Kamu ini apa-apaan sich? Kenapa kamu nggak umumin kalo besok kita ulangan kimia? Kalo saja tadi sore aku nggak ketemu Pak Idrus, pasti besok nggak ada seorang pun yang tau kalau kita ulangan. Kamu sengaja yach…??!!” aku hanya terdiam mendengar tuduhan Dewa padaku
“Disa…kamu dengar nggak?!” nada suara Dewa kini meninggi, kedengarannya dia mulai kesal
“Please Wa, aku lagi nggak ingin berantem saat ini” ujarku pelan sambil berusaha menahan tangisku agar tak terdengar olehnya. Namun percuma….
“Dis, kamu nangis yach? Apa yang terjadi? Kamu baik-baik aja kan? Kamu dimana Dis….”
Klik, aku mematikan HPku dan tak kuaktifkan lagi agar tak ada seorang pun yang bisa menghubungiku, terlebih Dewa. Aku tak ingin dia tau perihku saat ini.
                Setelah hampir setengah jam terdiam, aku pun kembali berjalan tanpa arah. Rasanya aku ingin pergi saja dari dunia ini, tenggelam dalam perut bumi hingga tak ada lagi yang akan menyakitiku. Aku sudah tak sanggup!! Aku pun melangkah menyebrangi jalan, tak peduli meski kendaraan begitu ramai. Klakson mobil truk nyaris memecah gendang telingaku, namun tak sedikit pun aku berniat menghindar, meski kini truk itu telah mendekat ke arahku.
“Semenjak dia kenal yang namanya kecanggihan internet, dia sudah tidak pernah belajar lagi. Bisanya mengecewakan orang tua saja”
“Mama pikir hanya Mama saja yang kecewa?? Aku juga, Ma!! Aku yang mati-matian belajar selama enam bulan ini”
“Kalau kamu belajar, nilai kamu tak akan mungkin menurun!!”
Ucapan menyakitkan Mama kembali terlintas dalam ingatanku, seakan mengiris batin.
“Atau….mungkin saja Disa udah mulai pacaran Tante”
“Kamu ini apa-apaan sich Dis? Kenapa kamu nggak umumin kalo besok kita ulangan kimia? Kamu sengaja yach…??!!” Ucapan Sally, juga tuduhan Dewa seakan ikut menyerangku. Rasanya aku tak kuat lagi. Aku ingin mati saja!!
Aku pun memejamkan mata, berharap ketika aku membukanya nanti semua beban ini akan hilang dan membawaku ke dunia lain, hingga aku tak akan pernah bertemu mereka lagi. Mereka yang selalu menyakitiku. Aku sudah siap dengan semua itu. Kurasakan mobil truk tadi semakin mendekat kearahku. Tiba-tiba tubuhku seperti terdorong sesuatu, hingga aku tersungkur ke tepi jalan. Meskipun merasakan perih, namun anehnya tubuhku tidak apa-apa, hanya ada beberapa goresan kecil  dibagian lengan dan kaki.
                “Dewa…” ujarku kaget setelah sadar kalau barusan aku tak berhasil bunuh diri. Dia yang menggagalkannya. Dia yang mendorong tubuhku hingga aku bisa terbebas dari hantaman truk dengan kecepatan tinggi yang hampir saja merenggut nyawaku
                “Apa-apaan ini Dis, kamu ingin mati yah??” Dewa kelihatan sangat marah menatapku. Aku hanya terdiam dan kini duduk ditepi jalan dengan kepala tertunduk
                “Kenapa? Karena keluargamu terus menyalahkan kamu, lalu kamu sedih dan sekarang mau bunuh diri. Iya Dis?! Aku nggak nyangka kamu selemah ini”
                “Kamu nggak tau apa yang barusan aku alami. Kamu nggak dengar betapa tajam ucapan Mama saat makan malam tadi. Kamu juga nggak dengar tuduhan Sally padaku. Kamu nggak akan pernah ngerti keluargaku” disaat seperti ini pun aku dan Dewa masih saja bertengkar. Tapi entah kenapa, kali ini aku merasa sangat lemah, seakan semua kekuatanku telah hilang. Dan dengan segenap kekuatan yang tersisa, aku berusaha membendung tangisku yang perlahan mulai menetes diwajahku. Aku tak ingin terlihat lemah dihadapan Dewa. Aku tak mau dia melihatku menangis. Aku tak mau dia menertawakan aku. Sesaat kita berdua terdiam!
                “Udahlah Dis, kalo mau nangis, nangis aja. Nggak usah berusaha tegar kalau sebenarnya kamu itu sangat lemah. Aku tau saat ini jiwamu rapuh. Mungkin memang aku tidak bisa mengerti keluargamu, tapi aku bisa merasakan semua kekecewaanmu. Aku juga….” Dewa belum menyelesaikan ucapannya, namun tangisku sudah tak bisa kubendung lagi. Kini aku mulai menangis sejadinya, menumpahkan semua bebanku yang selama ini menyesakkan dadaku. Aku terus saja menangis, tak peduli meski kini dunia akan menertawakanku. Menertawakan aku yang begitu lemah melewati kehidupan ini, hingga harus memilih mengakhiri kehidupanku.
                “Dis” pelan Dewa menyentuh bahuku dan perlahan dia duduk disisiku
                “Menangislah sepuasnya, mungkin dengan begitu kamu akan merasa lebih tenang. Seandainya kamu mau, kamu boleh bersandar dibahuku untuk menumpahkan semua bebanmu selama ini. Kamu pasti akan merasa lebih baik” ucapan Dewa barusan membuat tangisku semakin jadi. Aku pun kini bersandar dibahunya, menumpahkan semua bebanku yang selama ini kupendam. Meskipun hanya sesaat, tapi aku bisa merasakan tenang.
                “Dis, dalam saat yang penuh kegelapan dan kepedihan, ingatlah bahwa segala sesuatu berputar. Kadang kita memang bisa tertawa bahagia diatas roda kehidupan. Namun ada saatnya kita juga akan merasakan kepedihan ketika harus tergilas roda yang sama. Dan mungkin hanya orang bijaklah yang bisa menerima setiap kekalahannya” perlahan aku menghapus air mataku yang mulai terhenti alirannya
                “Ada kata bijak yang bilang, kalau kebahagiaan tersedia bagi mereka yang menangis, mereka yang disakiti hatinya, mereka yang mencari dan mereka yang mencoba. Semoga cobaan ini akan cukup untuk membuatmu lebih kuat. Kesedihanmu ini akan cukup untuk membuatmu manusiawi lagi. Karena kamu hanya memiliki satu kehidupan dan satu kesempatan. Itulah sebabnya, kamu harus menjalani kehidupanmu ini dengan sangat indah dan jangan pernah berpikir untuk menggantikannya dengan kehidupan lain yang lebih abadi”
Sungguh ucapan Dewa membuat aku sadar atas kebodohanku. Andai saja Mama ada disini dan ikut mendengarkan ucapan Dewa barusan, mungkin Mama bisa mengerti perasaanku. Mungkin Mama akan sadar kalau ucapannya selama ini sangat melukaiku. Maafkan aku Dewa yang selama ini begitu membencimu, begitu menyakitimu! Dan kini disaat kurapuh, hanya kamu yang hadir memberiku dukungan. Kamu yang selama ini juga tenggelam dalam kekalahan yang selalu kuhadiahkan padamu.
                “Dis…” suara Dewa menyadarkan aku dari lamunan
                “Sudah larut malam, biar aku antar kamu pulang. Mulai saat ini kamu tidak akan sendiri lagi di dunia ini. Ada aku yang akan selalu menemani kamu, aku yang akan mendengarkan semua keluhanmu” perlahan Dewa meraih jemariku dan menuntun aku melangkah pulang bersamanya. Aku pun mengikutinya, melangkah menyusuri indahnya malam bersama hembusan angin dan rintikan gerimis. Semoga esok matahari akan membawa cerah juga kehangatan, menemaniku melewati kehidupan ini, kehidupan baru yang sangat indah, tentunya bersama Dewa***



             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar