25 Oktober 2013

LMCR 2013 (Saat Kurapuh)


Alhamdulillah, senang banget LMCR tahun ini sekali lagi bisa masuk nominasi, meskipun hanya sebagai Pemenang Favorit dan namaku ada dideretan 112 dengan karya berjudul SAAT KURAPUH.

Tahun 2010 yang lalu, aku juga sempat ikut Lomba yang sama dan tahun itu aku juga berhasil masuk nominasi sebagai Pemenang Favorit urutan 11 dengan Cerpen berjudul Akhir Yang Indah. Fantastis, apalagi itu pengalaman pertamaku dan bisa terpilih dari lebih 4000 karya yang masuk ke meja panitia. Seneng banget....!!
Sayangnya ditahun 2011, karya yang aku kirimkan sama sekali nggak masuk dalam nominasi Pemenang. Hah, tahun 2011 memang waktu redupku dalam berkarya. Menghasilkan tulisan pendek pun sama sekali nggak bisa. Masa-masa kelam pokoknya. Dan syukurlah, tahun ini aku bisa kembali menjadi Pemenang Favorit. Alhamdulillah yach.. *gaya Syahrini*

Sebenarnya dalam LMCR kali ini, aku mengirimkan 4 Karya dengan judul: Burung-Burung Kertas, Mencintaimu Sehari, Impian Seorang Ibu dan Saat Kurapuh. Aku bahkan menjagokan Cerpen “Impian Seorang Ibu” diantara cerpen lainnya, soalnya kata-kata dalam Cerpen itu Puitis banget, agak-agak mirip Cerpen Liris gitu dech, apalagi Cerpen itu terinspirasi dari kisah seseorang. Eh taunya yang menang malah cerpen dengan judul Saat Kurapuh. Kejutan banget

SAAT KURAPUH adalah sebuah Cerpen yang sudah kutulis sejak 5 Juni 2004 yang lalu. Waktu itu aku lagi kesal-kesalnya karena semester dua kuliah, IPK-ku menurun. Padahal waktu semester satu aku berhasil meraih IPK sempurna 4,00 dengan nilai semuanya A. Sementara semester dua aku mendapat dua nilai B. Dan itu terjadi karena aku lagi ketagihan banget sama Chatting. Waktu itu masih jaman MIRC sich. Walhasil, nilaiku menurun. Dan aku strees berat. Karena nggak tau mau ngaduh sama siapa, maka semua kekecewaan itu aku tuangkan dalam tulisan. Dan jadilah cerpen itu. Sekian lama nganggur dalam buku tulis, sampai akhirnya dipindahin ke Laptop, akhirnya Cerpen yang sudah nyaris dilupakan itu berhasil menjadi Pemenang Favorit. Hahay....senengnya nggak kebayang dech. Pokoknya, surprise banget.

Ceritanya sederhana, kesannya malah seperti orang yang lagi numpahin kekesalannya. Kata-katanya juga masih terkesan jadul, maklum ditulisnya beberapa tahun yang lalu. Tapi nggak tau kenapa Cerpen ini yang malah terpilih sebagai Pemenang ^^
Karena Juri sudah menilai, sekarang giliran kalian....

SAAT KURAPUH
Sebuah Cerpen Karya Murthy F. Rone

Ini merupakan hari berat untukku. Hari yang harus kulalui dengan segenap kekuatan yang tersisa. Meski kini seisi dunia tak berpihak lagi padaku, membiarkan aku tenggelam dalam kekecewaan yang teramat dalam, namun aku harus bisa untuk bangkit dan kembali berpijak. Aku pasti bisa!! Disaat semua penghuni rumah terus menyerangku dan tak henti-hentinya menyalahkanku, karena akhir semester ini aku tak berhasil meraih peringkat pertama. Ini pertama kalinya aku merasakan kekalahan dalam hidupku, kekalahan yang sangat pahit, setelah sekian lama aku menikmati kemenangan dengan nilai tertinggi. Aku sungguh kecewa, belum lagi Mama dan Kak Vien yang terus menyerangku dengan sejuta pertanyaan yang tak mampu kujawab. Chatting-lah, Facebook-lah dan segala kecanggihan internet yang selalu jadi senjata ampuh mereka untuk membuatku semakin tenggelam dalam rasa penyesalan. Memang sich yang mereka katakan itu benar, hampir sebulan ini aku memang ketagihan dengan internet, bahkan uang jajanku ludes buat ongkos warnetku. Waktu luangku juga banyak yang tersita. Tapi, apa salahnya semua itu?? Aku kan hanya ingin memanfaatkan kecanggihan teknologi saja. Browsing internet bukanlah hal yang cukup membahayakan, bila ketagihannya harus dibandingkan dengan ketagihan obat-obat terlarang. Justru dengan browsing internet, aku bisa menambah ilmu pengetahuanku tentang dunia luar. Aku juga bisa mendapatkan banyak teman dari luar daerah dengan memanfaatkan situs jejaring sosial Facebook. Dan masih banyak lagi manfaat positif yang bisa aku peroleh dengan kecanggihan internet. Apalah artinya prestasi yang selama ini kuraih, bila gadis seumuranku sama sekali tak mengenal kecanggihan internet. Apa kata dunia jika seorang Disa yang selama sekolah selalu menyabet peringkat pertama, dengan segala prestasi dalam beberapa lomba, tapi sama sekali buta akan kecanggihan internet. Sungguh, pasti nasibku tak akan beda dengan ‘Katak dalam Tempurung’. Begitu menyedihkan….!!
                Tapi itulah keluargaku, mereka tidak pernah mau mengerti keadaanku. Yang mereka inginkan hanyalah aku harus menjadi yang terbaik dari semua orang. HARUS!! Padahal kalau mau dibandingkan dengan kekecewaan mereka, mungkin kekecewaanku yang paling parah. Aku yang mati-matian belajar selama enam bulan ini. Aku yang sudah lelah dengan segala kursus yang kuikuti dan kini semuanya telah hancur, sementara penyesalan tak akan mampu mengembalikan semuanya seperti awal.
Hanya Papa-lah yang selalu menghibur dan memberi aku dukungan. Papa yang selama ini dengan susah payah membiayai uang semesterku yang sangat mahal dan kini aku telah mengecewakannya. Sungguh, rasanya aku tak sanggup menghadapi semuanya.
                Bel masuk baru saja berbunyi. Aku melangkahkan kakiku dengan lesu. Sedih, sesal, kesal, kini bercampur dalam benakku. Namun aku berusaha untuk tegar. Kuusahakan!! Bagaimanapun, semua orang tau tentang sikapku yang tak pernah menyerah, apalagi mengaku kalah. Sesaat kuhentikan langkahku di depan ruang kelas 11-A, ruang kelasku. Aku menengok kedalam, semua siswa tampak sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Kembali kutarik langkahku menjauh dari ruangan itu, padahal sebentar lagi pelajaran Bahasa Inggris akan dimulai. Aku lebih memilih menyendiri, menelusuri jalan-jalan sepi disudut kelasku saat ini.
                “Disa” langkahku terhenti mendengar namaku dipanggil, namun aku tak berniat menoleh padanya.
                “Kenapa kamu nggak masuk Dis, bentar lagi pelajaran udah mau dimulai” aku tau itu suara Dewa. Aku juga tau kalau Pelajaran Bahasa Inggris akan dimulai sebentar lagi, pelajaran yang paling aku senangi, namun mata pelajaran itulah yang justru membuat perbedaan nilai antara aku dan Dewa. Perbedaan yang kini bisa membuat Dewa tersenyum bangga dengan kemenangannya. Aku tak menjawab, lalu kulanjutkan langkahku meninggalkannya
                “Disa” lagi-lagi Dewa mencegah langkahku “Sampai kapan kamu akan seperti ini??” lanjutnya membuatku malas
                “Udahlah Wa, kamu nggak usah sok jadi Dewa Penolong yang peduli pada nasibku” jawabku sinis “Jujur saja, kamu senangkan liat aku seperti ini?? Apa kamu belum puas juga meraih nilai tertinggi? Apa kamu masih ingin menyempurnakan kemenanganmu dengan menertawakan aku, mengejek aku atau….”
                “Cukup Disa!!” Ini pertama kalinya Dewa membentakku, meskipun selama ini kita memang sering terlibat pertengkaran hebat. Bukan hanya sering, bahkan hampir setiap saat. Kita berdua bagai kucing dan tikus yang tak akan pernah akur seperti dalam serial Tom & Jerry. Dan semua orang tau akan hal itu, termasuk Pak Idrus, wali kelas kami. Dalam pembagian kelompok belajar, kita berdua tak pernah disatukan. Duduk pun kita memilih untuk berjauhan. Aku duduk di jejeran sudut kiri depan, sedangkan Dewa di sudut kanan belakang. Meskipun dengan jarak sejauh itu kita masih saja sering bertengkar. Lalu, mengapa kali ini Dewa membentakku?? Apa ucapanku tadi benar-benar menyakiti hatinya? Lebih sakitkah dari tamparanku saat dia membacakan isi diaryku didepan kelas??
                “Dis, apa kamu marah karena aku sudah merebut peringkatmu??” ujar Dewa membuatku tersentak. Aku tak menyangka dia akan berkata seperti itu
                “Apa, Marah?? Kamu bilang aku Marah?! Buat apa?!” ujarku tertawa sinis “Mungkin itu sudah keberuntunganmu. Lagi pula selama ini kamu juga selalu kalah dariku. Jadi anggap saja kali ini aku memang sengaja mengalah untukmu!!” tegasku lantas hendak berlalu darinya. Tapi lagi-lagi Dewa menghentikan langkahku
                “Sebenarnya aku ingin sekali bertengkar denganmu !! Tapi aku benci liat kamu lemah seperti saat ini!!” ujar Dewa mengakhiri ucapannya. Meskipun tetap tak menoleh, tapi aku tau kalau kini Dewa sudah melangkah pergi meninggalkanku. Meninggalkan aku dalam kesendirian!!

***

                Sudah seminggu ini rasanya aku seperti kehilangan nafsu makan. Perutku sudah kenyang dengan komentar orang-orang tentang nilai raportku semester ini. Tatapan sinis, senyum mengejek, sindiran kecil, bahkan ucapan syukur seringkali menyerangku. Aku bahkan baru sadar, kalau ternyata selama ini begitu banyak orang yang membenciku. Yang aku dengar dari mereka, aku ini terlampau egois dan ambisi. Sungguh, aku benar-benar baru tau akan hal itu dan itu membuatku semakin sedih. Aku benar-benar merasa seorang diri. Mereka yang kuanggap teman kini telah menjauh. Ternyata selama ini mereka hanya memanfaatkan kepintaranku saja dengan numpang menyontek dan kerja PR. Dan disaat aku rapuh seperti saat ini, mereka malah meninggalkan aku seorang diri.
Tapi anehnya, Dewa justru menunjukkan sikap sebaliknya. Sekalipun dia tak pernah menertawakan aku, menyindir, tertawa mengejek atau bahkan memamerkan kemenangannya dihadapanku. Tidak sepertiku setiap kali meraih nilai tertinggi. Dewa mungkin tidak seangkuh diriku!!
                Malam ini dengan berat aku ikut bergabung di meja makan, padahal biasanya aku selalu melewati acara makan malamku sendirian dalam kamar. Tapi karena saat ini ada Tante Rike juga anaknya, Sally. Aku hanya ingin menghargai mereka saja, apalagi besok mereka sudah harus balik ke Bandung, karena Sally tak ingin terlalu lama bolos sekolah.
                “Gimana nilai raport kamu Disa? Pasti semester ini kamu di peringkat satu lagi kan??” ujar Tante Rike seketika membuatku tersedak “Tante bangga sekali sama kamu Disa, karena selama sekolah nilai kamu selalu yang tertinggi, beda dengan Sally” buru-buru aku meneguk segelas air putih untuk menghilangkan sesuatu yang terasa mengganjal tenggorokanku.
“Enggak Tante, semester ini aku diperingkat dua” kulihat Sally tertawa kecil mendengar jawabanku barusan
“Apa??”T ante Rike begitu kaget mendengar jawabanku “Maksud kamu, nilai kamu menurun??” lanjutnya seakan masih tak percaya
“Iya” jawabku pelan. Aku pastikan saat ini Sally sedang tertawa puas
“Kenapa bisa begitu Disa??” Tante Sally terus memburuku
“Semua karena Internet” jawab Mama cepat sebelum aku sempat memberi penjelasan “Semenjak dia kenal yang namanya kecanggihan internet, dia sudah tidak pernah belajar lagi. Semua waktunya hanya dihabiskan diwarnet. Mama sudah berapa kali bilang supaya dia tidak lagi bermain internet, tapi ucapan Mama hanya dianggapnya sebagai angin lalu saja. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Dan kini apa hasilnya?? Bisanya mengecewakan orang tua saja” ucapan Mama barusan bagai sembilu tajam yang mengiris tepat dijantungku. Sakit.
“Mama pikir hanya Mama saja yang kecewa?? Aku juga, Ma!! Aku yang mati-matian belajar selama enam bulan ini. Hanya saja….”
“Kalau kamu belajar, nilai kamu tak akan mungkin menurun seperti ini!!” Air mata kini menggenangi dua kelopak mataku, satu kedipan saja wajahku pasti akan basah oleh alirannya. Tapi tak kulakukan. Pantang bagi seorang Disa untuk menangis saat ini, apalagi didepan Sally. Dia bisa saja tertawa sambil berdarah-darah jika melihatku menangis
“Atau….mungkin saja Disa udah mulai pacaran Tante” akhirnya Sally memiliki kesempatan untuk menyerangku juga. Dia yang selama ini hanya bisa menahan diri setiap kali Tante Rike memujiku dihadapannya. Aku bisa membayangkan bagaimana perasaannya. Dan kini, dia seolah berhasil membalaskan dendamnya padaku.
Tanpa menunggu lama, bergegas aku meninggalkan meja makan, meski makananku belum tersentuh sama sekali. Sebelum mereka kembali menyerangku, lebih baik aku pergi saja dengan membawa sakit hatiku. Aku pun berlari meninggalkan rumah, berjalan entah kemana. Meski hujan gerimis kini membasahi wajahku, aku tetap tak peduli!! Sesaat aku menatap ke langit mencari tempat mengaduh, namun bintang yang selalu menemani kesendirianku juga seakan raib ditelan awan hitam yang menggumpal. Sungguh aku benar-benar merasa seorang diri kali ini!!
Aku duduk dibangku taman, ketika HP mungilku tiba-tiba berbunyi.
“Halo Disa, ini aku Dewa..!!”
“Kenapa??” jawabku malas
“Kamu ini apa-apaan sich? Kenapa kamu nggak umumin kalo besok kita ulangan kimia? Kalo saja tadi sore aku nggak ketemu Pak Idrus, pasti besok nggak ada seorang pun yang tau kalau kita ulangan. Kamu sengaja yach…??!!” aku hanya terdiam mendengar tuduhan Dewa padaku
“Disa…kamu dengar nggak?!” nada suara Dewa kini meninggi, kedengarannya dia mulai kesal
“Please Wa, aku lagi nggak ingin berantem saat ini” ujarku pelan sambil berusaha menahan tangisku agar tak terdengar olehnya. Namun percuma….
“Dis, kamu nangis yach? Apa yang terjadi? Kamu baik-baik aja kan? Kamu dimana Dis….”
Klik, aku mematikan HPku dan tak kuaktifkan lagi agar tak ada seorang pun yang bisa menghubungiku, terlebih Dewa. Aku tak ingin dia tau perihku saat ini.
                Setelah hampir setengah jam terdiam, aku pun kembali berjalan tanpa arah. Rasanya aku ingin pergi saja dari dunia ini, tenggelam dalam perut bumi hingga tak ada lagi yang akan menyakitiku. Aku sudah tak sanggup!! Aku pun melangkah menyebrangi jalan, tak peduli meski kendaraan begitu ramai. Klakson mobil truk nyaris memecah gendang telingaku, namun tak sedikit pun aku berniat menghindar, meski kini truk itu telah mendekat ke arahku.
“Semenjak dia kenal yang namanya kecanggihan internet, dia sudah tidak pernah belajar lagi. Bisanya mengecewakan orang tua saja”
“Mama pikir hanya Mama saja yang kecewa?? Aku juga, Ma!! Aku yang mati-matian belajar selama enam bulan ini”
“Kalau kamu belajar, nilai kamu tak akan mungkin menurun!!”
Ucapan menyakitkan Mama kembali terlintas dalam ingatanku, seakan mengiris batin.
“Atau….mungkin saja Disa udah mulai pacaran Tante”
“Kamu ini apa-apaan sich Dis? Kenapa kamu nggak umumin kalo besok kita ulangan kimia? Kamu sengaja yach…??!!” Ucapan Sally, juga tuduhan Dewa seakan ikut menyerangku. Rasanya aku tak kuat lagi. Aku ingin mati saja!!
Aku pun memejamkan mata, berharap ketika aku membukanya nanti semua beban ini akan hilang dan membawaku ke dunia lain, hingga aku tak akan pernah bertemu mereka lagi. Mereka yang selalu menyakitiku. Aku sudah siap dengan semua itu. Kurasakan mobil truk tadi semakin mendekat kearahku. Tiba-tiba tubuhku seperti terdorong sesuatu, hingga aku tersungkur ke tepi jalan. Meskipun merasakan perih, namun anehnya tubuhku tidak apa-apa, hanya ada beberapa goresan kecil  dibagian lengan dan kaki.
                “Dewa…” ujarku kaget setelah sadar kalau barusan aku tak berhasil bunuh diri. Dia yang menggagalkannya. Dia yang mendorong tubuhku hingga aku bisa terbebas dari hantaman truk dengan kecepatan tinggi yang hampir saja merenggut nyawaku
                “Apa-apaan ini Dis, kamu ingin mati yah??” Dewa kelihatan sangat marah menatapku. Aku hanya terdiam dan kini duduk ditepi jalan dengan kepala tertunduk
                “Kenapa? Karena keluargamu terus menyalahkan kamu, lalu kamu sedih dan sekarang mau bunuh diri. Iya Dis?! Aku nggak nyangka kamu selemah ini”
                “Kamu nggak tau apa yang barusan aku alami. Kamu nggak dengar betapa tajam ucapan Mama saat makan malam tadi. Kamu juga nggak dengar tuduhan Sally padaku. Kamu nggak akan pernah ngerti keluargaku” disaat seperti ini pun aku dan Dewa masih saja bertengkar. Tapi entah kenapa, kali ini aku merasa sangat lemah, seakan semua kekuatanku telah hilang. Dan dengan segenap kekuatan yang tersisa, aku berusaha membendung tangisku yang perlahan mulai menetes diwajahku. Aku tak ingin terlihat lemah dihadapan Dewa. Aku tak mau dia melihatku menangis. Aku tak mau dia menertawakan aku. Sesaat kita berdua terdiam!
                “Udahlah Dis, kalo mau nangis, nangis aja. Nggak usah berusaha tegar kalau sebenarnya kamu itu sangat lemah. Aku tau saat ini jiwamu rapuh. Mungkin memang aku tidak bisa mengerti keluargamu, tapi aku bisa merasakan semua kekecewaanmu. Aku juga….” Dewa belum menyelesaikan ucapannya, namun tangisku sudah tak bisa kubendung lagi. Kini aku mulai menangis sejadinya, menumpahkan semua bebanku yang selama ini menyesakkan dadaku. Aku terus saja menangis, tak peduli meski kini dunia akan menertawakanku. Menertawakan aku yang begitu lemah melewati kehidupan ini, hingga harus memilih mengakhiri kehidupanku.
                “Dis” pelan Dewa menyentuh bahuku dan perlahan dia duduk disisiku
                “Menangislah sepuasnya, mungkin dengan begitu kamu akan merasa lebih tenang. Seandainya kamu mau, kamu boleh bersandar dibahuku untuk menumpahkan semua bebanmu selama ini. Kamu pasti akan merasa lebih baik” ucapan Dewa barusan membuat tangisku semakin jadi. Aku pun kini bersandar dibahunya, menumpahkan semua bebanku yang selama ini kupendam. Meskipun hanya sesaat, tapi aku bisa merasakan tenang.
                “Dis, dalam saat yang penuh kegelapan dan kepedihan, ingatlah bahwa segala sesuatu berputar. Kadang kita memang bisa tertawa bahagia diatas roda kehidupan. Namun ada saatnya kita juga akan merasakan kepedihan ketika harus tergilas roda yang sama. Dan mungkin hanya orang bijaklah yang bisa menerima setiap kekalahannya” perlahan aku menghapus air mataku yang mulai terhenti alirannya
                “Ada kata bijak yang bilang, kalau kebahagiaan tersedia bagi mereka yang menangis, mereka yang disakiti hatinya, mereka yang mencari dan mereka yang mencoba. Semoga cobaan ini akan cukup untuk membuatmu lebih kuat. Kesedihanmu ini akan cukup untuk membuatmu manusiawi lagi. Karena kamu hanya memiliki satu kehidupan dan satu kesempatan. Itulah sebabnya, kamu harus menjalani kehidupanmu ini dengan sangat indah dan jangan pernah berpikir untuk menggantikannya dengan kehidupan lain yang lebih abadi”
Sungguh ucapan Dewa membuat aku sadar atas kebodohanku. Andai saja Mama ada disini dan ikut mendengarkan ucapan Dewa barusan, mungkin Mama bisa mengerti perasaanku. Mungkin Mama akan sadar kalau ucapannya selama ini sangat melukaiku. Maafkan aku Dewa yang selama ini begitu membencimu, begitu menyakitimu! Dan kini disaat kurapuh, hanya kamu yang hadir memberiku dukungan. Kamu yang selama ini juga tenggelam dalam kekalahan yang selalu kuhadiahkan padamu.
                “Dis…” suara Dewa menyadarkan aku dari lamunan
                “Sudah larut malam, biar aku antar kamu pulang. Mulai saat ini kamu tidak akan sendiri lagi di dunia ini. Ada aku yang akan selalu menemani kamu, aku yang akan mendengarkan semua keluhanmu” perlahan Dewa meraih jemariku dan menuntun aku melangkah pulang bersamanya. Aku pun mengikutinya, melangkah menyusuri indahnya malam bersama hembusan angin dan rintikan gerimis. Semoga esok matahari akan membawa cerah juga kehangatan, menemaniku melewati kehidupan ini, kehidupan baru yang sangat indah, tentunya bersama Dewa***



             

10 Oktober 2013

Cerpen "CERITA CINTA DI GOA LONDA"

Aku menatap nanar dua tulang tengkorak yang berdampingan disudut goa yang gelap dan dingin ini. Sekujur tubuhku ikut membeku. Bukan karena aku merasa ketakutan, sama sekali bukan. Tetapi karena aku teringat kenangan setahun lalu ditempat ini. Tempat yang sama, menyaksikan dua tengkorak berdampingan yang masih sama. Hanya saja keadaannya kini yang sudah berbeda. Dulu aku memandang dua tengkorak ini bersama denganmu, dengan perasaan takjub dan sedikit berbunga-bunga. Tapi kini, aku memandangnya seorang diri, hampa, dengan mata yang nyaris berkaca-kaca.

Setahun yang lalu kita pernah ketempat ini, mengikuti study tour bersama teman-teman seangkatan kita diFakultas Bahasa Inggris. Meskipun sudah tinggal lama di Sulawesi, tapi itu adalah pertama kalinya aku mengunjungi Tana Toraja. Beda denganmu yang memiliki hobi menjelajah. Dan mungkin itu adalah perjalananmu yang ketiga kalinya. Makanya kamu sangat berbangga hati saat akhirnya terpilih menjadi Leader Rombongan kita.

Tana Toraja memang sudah dikenal hingga diluar Sulawesi, bahkan sampai diluar negeri. Selain tentang rumah adat dan hasil ukirannya, Tana Toraja juga sangat terkenal dengan ritual pemakamannya. Dan dari semua lokasi yang kita kunjungi waktu itu, diantaranya Kampung Labo, Lemo, Londa, Kambira dan Suaya, semuanya menceritakan tentang pesta kematian dan tata cara penguburan yang unik. Memang terdengar sangat menyeramkan sih, dan aku beruntung karena memiliki kamu. Jadi aku bisa menggenggam jemarimu setiap kali merasa ketakutan atau bersembunyi dibalik punggungmu setiap kali menyaksikan pemandangan yang menyeramkan.

Aku ingat, saat itu di Kampung Lebo sedang berlangsung upacara kematian. Ada banyak binatang yang dikorbankan dalam acara tersebut. Salah satunya kerbau, yang harganya bisa mencapai ratusan juta. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diiringi musik dan tarian.

Saat itu aku melihat empat orang lelaki tampak mengusung seekor babi yang beratnya tak kurang dari 50kg. Dan itu pertama kalinya aku melihat babi secara langsung, yang seketika membuatku bertanya-tanya

“Roy, jadi seperti itu yah binatang babi?” bisikku ditelingamu waktu itu

“Iya, memang kamu belum pernah liat?”

“Belum” jawabku jujur “Tapi kok warnanya abu-abu sih?”

Hah? Harusnya??tanyamu dengan wajah bingung

“Bukannya babi itu berwarna pink seperti yang ada dalam film kartun?” jelasku yang seketika membuatmu mati-matian tertawa

Aku memang sangat menyukai warna pink, bahkan bisa dibilang aku maniak. Hampir semua barang yang aku gunakan semuanya bewarna pink. Tas, sepatu, handphone, kamera digital, semuanya. Dan kamu sudah bisa menerima semua itu. Meskipun cewek PINK sepertiku sebenarnya bukanlah kriteria idaman seorang cowok penjelajah sepertimu. Dan ketika aku juga berpikir kalau binatang babi itu berwarna pink, kamu mengatakan kalau imajinasiku terlalu tinggi. Dan itu membuatmu tidak henti-hentinya tertawa.

Setelah itu, sebagai Leader Rombongan, kamu kemudian membawa kita menuju Kambira. Sebuah tempat yang biasa disebut kuburan bayi. Nampak hutan bambu yang lebat, tumbuh dengan padat seolah memayungi jalan setapak yang kita lalui waktu itu. Sejuk memang, tapi tetap membawa aura mistis yang sempat membuat bulu kuduk merinding. Tepat ditengah-tengah hutan bambu itu, berdiri kokoh Pohon Tarra. Pada batang pohon ini, nampak beberapa ijuk berbentuk persegi. Dibalik ijuk itu tersimpan mayat-mayat bayi. Kuburan pohon inilah yang disebut Baby Grave.

Toraja memang sebuah tempat yang tidak hanya menyuguhkan bentangan alam yang memukau, namun juga menyimpan akar tradisi budaya yang masih kental. Salah satunya tradisi tentang kematian. Dan ada satu cerita kematian paling romantis, sekaligus tragis, yang membuatku tidak bisa melupakan tempat ini. Menatap dua tulang tengkorak yang berdampingan dalam goa yang dingin dan sepi ini.

Dulu, dikampung ini ada seorang gadis yang sangat cantik. Namanya Lebonna” ceritamu saat itu, ketika kamu baru saja kembali dari perjalanan pertamamu mengunjungi Tana Toraja.

Katamu, Lebonna adalah gadis rebutan dikampungnya. Tapi dia lebih memilih jatuh hati pada seorang lelaki bernama Massudilalong Paerengan. Seorang lelaki tampan, pemberani dan sakti. Mereka berdua pun saling mengikat janji, untuk sehidup semati. Dan saat meninggal nanti, mereka berdua ingin dimakamkan dalam satu peti yang sama.

Sungguh kisah yang romantis, apalagi kamu bilang kalau kisah mereka dikenal sebagai kisah Romeo dan Juliet versi Tana Toraja.

Kemudian seiring berjalannya waktu, hubungan mereka berdua pun semakin dekat, sehingga banyak orang yang cemburu pada mereka. Hingga suatu hari, terdengarlah kabar bahwa daerah tetangga akan melakukan penyerangan, dan Paerengan yang memang dikenal sebagai Ksatria, dipercayakan untuk memimpin pasukan.

Saat terjadi pertempuran, salah seorang anak buah Paerengan diam-diam kabur dari medan pertempuran dan datang menemui Lebonna. Dia kemudian menyampaikan berita bohong, bahwa Paerengan telah gugur dalam medan pertempuran, berharap Lebonna akan berpaling hati padanya. Namun yang terjadi, Lebonna sama sekali tidak bergeming, karena cintanya memang hanya untuk Paerengan.

Berhari-hari Lebonna mengurung diri dan tak mau makan. Setiap malam dia selalu teringat akan janji mereka untuk sehidup semati. Hingga akhirnya, Lebonna menepati janji yang pernah dia ucapkan bersama Paerengan. Lebonna memilih gantung diri demi membuktikan cinta sucinya. Dia ingin menyusul Paerengan yang telah lebih dulu mati dimedan pertempuran.

Setelah tewas gantung diri, jasad Lebonna kemudian dimakamkan disebuah liang batu. Dan saat akan dimasukkan kedalam liang, tiba-tiba sebuah pintu baru tertutup rapat, hingga rambut panjang Lebonna masih terurai keluar sampai bibir goa. Menurut kepercayaan masyarakat Toraja, saat itu Lebonna masih belum rela masuk kedalam liang tanpa ditemani Paerengan, sang kekasih yang sudah mengikat janji dengannya untuk sehidup semati.

Paerengan pun akhirnya kembali dari medan pertempuran dengan membawa kabar kemenangan. Namun alangkah terpukulnya dia ketika tau kalau Lebonna telah meninggal dunia. Sejak saat itu, hidup Paerengan pun semakin tidak menentu.

Lalu suatu hari, Paerengan meminta Dodeng, pembantu terdekatnya untuk mengambilkan tuak, yang pohonnya kebetulan berdekatan dengan liang kubur Lebonna. Dan saat akan mengambil tuak, tiba-tiba Dodeng mendengar suara Lebonna melalui lirik sebuah lagu. Dalam lagu itu Lebonna selah ingin menyampaikan bahwa dia belum rela mati tanpa ditemani Paerengan, kekasihnya yang sudah berjanji akan sehidup semati.

            Setelah mendengar lagu itu, Dodeng buru-buru berlari kerumah Paerengan tanpa sempat mengambil tuak lagi. Dia pun tidak menceritakan hal itu kepada Paerengan karena masih belum yakin dengan apa yang didengarnya. Hingga besoknya, Dodeng kembali untuk mengambil tuak. Dan suara itu kembali didengarnya. Dodeng pun lalu mengambil langkah seribu tanpa membawa tuak. Paerengan pun semakin curiga melihat sikap Dodeng yang ketakutan. Dia kemudian memaksa Dodeng untuk bercerita. Dan seolah ingin membuktikannya sendiri, Paerengan pun mengikuti Dodeng mengambil tuak. Dan suara itu kembali terdengar. Paerengan benar-benar tak percaya mendengar pesan Lebonna melalui lirik lagu itu. Dia merasa sangat bersalah karena tidak menepati janjinya.

            Sebagai Panglima Perang, Paerengan akhirnya meminta semua pasukannya berkumpul dengan membawa tombak. Saat itu puluhan kerbau telah disiapkan. Dan semua tentaranya telah menancapkan tombak masing-masing dengan posisi mata menghadap keatas. Saat semua warga dan tentara berkumpul, diam-diam Paerengan naik keatas atap pendopo. Mereka semua berpikir Paerengan akan menyampaikan pidato. Namun yang terjadi, Paerengan justru melompat tepat diatas ratusan tombak yang telah ditancapkan. Dia pun seketika tewas dengan tragis.

Namun ternyata Paerengan dimakamkan ditempat lain, bukan ditempat Lebonna pernah dimakamkan. Hingga yang terjadi, jenazah Paerengan selalu kembali kerumahnya secara tiba-tiba. Dan kejadiaan aneh itu terulang selama tiga kali. Sampai akhirnya Dodeng menceritakan semuanya. Hingga Paerengan pun dimakamkan satu liang dengan Lebonna. Saat itulah mayat Paerengan menjadi tenang, karena dia telah memenuhi janjinya.

       Mungkin cerita kematian Lebonna dan Paerengan yang menjadi alasan pertamaku untuk datang mengunjungi Tana Toraja. Sejak kamu menceritakan kisah mereka malam itu, aku ingin sekali bisa mengunjungi Toraja demi menyaksikan langsung dua tengkorak pasangan cinta sejati itu. Hingga setahun lalu, ditempat yang sama, disuatu pagi saat semua peserta study tour masih tertidur lelap karena kelelahan, kamu mengajakku ketempat ini. Didepan dua tulang tengkorak ini, dengan tangan kita yang bergandengan erat, kamu berjanji kalau kita akan selalu bersama. Tak akan pernah terpisah, hingga kematian menjemput kita.

       Tapi Tuhan berkata lain. Kita berdua ternyata tidak diizinkan untuk selamanya bersama. Kecelakaan mobil tiga bulan lalu seolah meyakinkan aku kalau manusia hanya bisa berencana. Sementara Tuhan yang menentukan segalanya. Kini kamu telah pergi meninggalkan aku untuk selama-lamanya. Meninggalkan semua janji dan mimpi indah yang pernah kita rangkai bersama.

            Tempat ini masih sama, dua tulang tengkorak itu juga masih sama, hanya saja keadaan yang kini sudah berbeda. Dulu aku ketempat ini bersamamu, menggenggam jemarimu setiap kali aku merasa ketakutan, atau bersembunyi dibalik punggungmu setiap kali melihat pemandangan yang menyeramkan. Tapi kini, aku berdiri ditempat ini, sendiri dan sepi. Tak ada lagi jemari yang bisa kugenggam saat ketakutan. Juga punggung hangat yang bisa melindungiku dari kesepian. Tanpa sadar air mataku menetes perlahan

         “Kak Rara, kok ngelamun disini? Teman-teman udah nungguin tuh diluar” buru-buru aku menghapus air mataku “Habis ini kita mau kemana lagi?” ujar Dita memaksaku tersenyum. Kalau dulu aku ke Toraja dengan kamu sebagai leader rombongan kita. Sekarang aku yang malah menjadi leader untuk adik-adik angkatan kita. Kamu pasti tak akan percaya.

            Aku memang tidak memiliki jiwa penjelajah sepertimu. Pecinta khasanah budaya dan selalu memiliki banyak cerita petualangan indah. Aku bahkan hanya seorang gadis manja yang tidak memiliki keberanian untuk bepergian. Tapi sejak saat itu, Toraja seolah telah mendapat ruang tersendiri dihatiku. Aneh memang, padahal ditempat ini sangat sarat dengan kejadian mistis yang bisa membuatku ketakutan. Sebuah tempat dimana kita bisa menyaksikan sebuah kematian dengan lebih dekat.

Kamu pernah bilang padaku, mencintai budaya itu sama halnya dengan mencintai orang yang kita sayang. Kita tak akan pernah tau betapa indah, betapa hebatnya sebuah kebudayaan jika kita tidak menyatu dengannya. Begitu juga dengan cinta, harus menyatu dulu untuk bisa tau segalanya. Dan perjalanan ke Toraja bagiku adalah sebuah perjalanan yang sarat dengan makna cinta.

Aku bisa melihat kecintaan masyarakat Toraja terhadap leluhur dan Tuhan mereka, sehingga mereka masih tetap memelihara dan mempertahankan tradisi penguburan yang unik ini. Kecintaan orang tua terhadap bayi-bayi mereka, sehingga memilih menguburkan jenazahnya di Pohon Tarra agar bisa mendapat susu dan memudahkan jalan menuju syurga. Juga besarnya cinta Lebonna dan Paerengan sehingga mereka lebih memilih menjalani kematian bersama. Semua itu adalah bukti betapa Toraja adalah sebuah tempat yang dipenuhi dengan cerita cinta.

Dan aku yakin, akan selalu ada alasan untuk kembali mengunjungi tempat ini. Selain karena budayanya yang kental dan unik berbalut keindahan alam yang menakjubkan, aku juga memiliki sebuah kenangan indah ditempat ini. Kenangan bersamamu di Goa Londa yang tak akan bisa terlupakan. Meski kini kamu tak ada lagi bersamaku, menemani aku menjelajahi beragam kebudayaan dan merangkai cerita indah petualangan, tapi kamu akan selalu ada dihatiku. Seperti boneka babi berwarna pink pemberianmu, yang kini selalu menemaniku kemana-mana. Aku percaya, tak harus menjadi Lebonna untuk bisa membuktikan rasa cintaku padamu. Memilih menjalani kematian bersama, bukanlah satu-satunya cara untuk bisa membuktikan kekuatan cinta. Justru dengan melanjutkan hidup, aku bisa membuktikan betapa aku sangat mencintai kehidupan yang sudah diberikan Tuhan padaku.

Dan aku janji akan terus melanjutkan hidupku, dengan berbagai cerita petualangan baru. Cerita perjalanan penuh cinta yang tak akan pernah lelah kutuliskan untukmu. Doa tulus akan selalu kukirimkan padamu, semoga kamu selalu bahagia dialam sana. @murthyf.rone