“Apa kamu masih mengoleksi Novel Andrea Hirata?” tanyaku memecah keheningan yang enggan menguap diantara kita saat berada disebuah Toko Buku, seolah kita berdua adalah dua orang yang baru saja saling kenal. Padahal kita pernah bersama-sama selama setahun lebih. Bukan sekedar akrab, tapi bahkan lebih dari itu. Dulu, hampir sepanjang hari kita menghabiskan waktu bersama, hingga aku bisa tau hal apa yang paling kamu sukai dan apa yang paling kamu benci. Aku juga sudah melihat wajah paling terjelekmu, begitu juga kamu. Seolah tidak ada lagi kekurangan diri yang saling kita sembunyikan. Tapi bukan berarti kita pacaran. Kita berdua hanyalah dua orang yang pernah terikat hubungan kerjaan. Tak lebih, andai aku bisa membaca perasaanmu.
“Masih” jawabmu singkat, tanpa menatap wajahku. Padahal kita berdiri
berhadapan. Kesenjangan pun semakin terasa diantara kita. Sikapmu kaku, apalagi
aku
“Koleksi novelmu sudah sampai mana?”
“Novel yang terakhir, Padang Bulan” jawabmu bersemangat, seolah
menceritakan Andrea Hirata adalah hal yang paling kamu sukai. Aku memang tau
kalau Andrea adalah penulis favoritmu. Aku juga tau kalau kamu sudah mengoleksi
semua novel karyanya.
“Oh yah? Ceritanya tentang apa?” tanyaku ingin tau. Meski aku memang
tidak terlalu suka dengan Novel karangan Andrea, tapi aku selalu tau tentang karya-karyanya.
Termasuk karya terbarunya yang memiliki dua desain sampul. Karena aku juga
sangat suka membaca, meski selera bacaan kita tidak pernah sama. Aku lebih
menyukai Novel Teenlit.
Tanpa kuduga, kamu pun dengan semangat menceritakan tentang novel
terbaru itu, seperti biasanya, setiap kali aku menanyakan tentang karya-karya
Andrea yang lain. Dan dari semua ceritamu, bahasa dan gayamu berbicara, rasanya
kamu belum berubah. Kamu masih tetap sama. Dan aku seolah merindukan itu semua.
Tapi ada jarak yang berdiri diantara kita. Jarak yang seolah mengambil banyak
peran dalam pertemuan kita kali ini. Pertemuan kedua yang tidak disengaja,
setelah hampir tiga tahun ini aku menghindarimu dengan sengaja.
Dulu, aku menganggap jarak yang paling jauh itu adalah saat terpisah
antara hidup dan mati. Saat kita tak bisa bertemu lagi. Tapi ternyata aku
salah, jarak yang paling jauh itu adalah ketika kita bertemu, namun tidak bisa
seakrab dulu lagi. Seolah tidak saling mengenal lagi. Jarak yang paling jauh
itu ada diantara hati kita, yang kini mungkin saling membenci.
***
Rasanya seolah baru kemarin kita bersama-sama, saling berbagi ruang
dan mengerjakan setumpuk kerjaan. Namun siapa yang harus disalahkan ketika kini
kita berdua saling membenci, bahkan bersikap seolah kita tidak saling mengenal
lagi. Kita selalu mengingkari kenyataan yang ada, yang mungkin mencipta rasa.
Tanpa kita sadari, rasa-rasa itu hanya mencecap dalam bayang, kemudian hilang.
Dan kini, kita seperti memulai lagi semuanya. Mungkin tak bisa disebut kisah,
karena kita berdua tak pernah merajut apa yang kita alami. Cukuplah aku
menyebutnya sebagai sesuatu yang dulu belum kita akhiri dan sekarang berbalik
menyapa kita.