15 April 2020

Cerpen "TAK SEMANIS ICE CREAM"


Hari ini kita bertemu, disaat terik matahari terasa begitu menyengat. Panasnya bahkan terasa dua kali lipat dari biasanya. Aku melihat wajahmu tampak kusut, matamu sayu, mungkin saja kamu kurang tidur. Atau mungkin ada masalah yang sedang menyelimutimu. Aku meneliti setiap jengkal wajahmu, rasanya sudah cukup lama kita tidak bertemu, padahal seingatku baru seminggu. Dan mata kantuk itu sama sekali tidak mengurangi gurat-gurat tampan yang menetap diwajahmu. Andai saja kamu tersenyum, pasti akan terlihat lebih tampan lagi.

            Dua mangkuk ice cream menjadi pilihan yang tepat siang ini. Satu mangkuk ice cream vanilla buatku, dan semangkuk chocolate chip mint untukmu. Vanilla memang kesukaanku, seolah ice cream ini bisa menggambarkan kepribadianku. Aku pernah membaca satu artikel penelitian yang dilakukan oleh ahli saraf  Dr. Alan Hirsch, pendiri Smell and Taste Treatment and Research Foundation bahwa pecinta vanilla adalah orang yang selalu berpikir positif dan gigih merealisasikan segala rencana yang mereka percaya. Memiliki kepribadian yang berani, implusif, idealis dan bersemangat. Namun mereka tidak terlalu suka dengan perubahan yang terjadi disekitar, sebaliknya mereka lebih suka berada dalam lingkungan yang nyaman.

       Aku memang tipe orang yang lebih memilih berdiam diri di zona nyamanku. Aku benci pertengkaran. Aku benci perubahan. Tapi aku selalu bersemangat menjalani hidupku. Dan aku selalu berpikir positif dengan segala sesuatu yang terjadi.

        Aku masih menatapmu yang membisu. Bahkan sampai pelayan datang mengantarkan pesanan kita, kamu belum juga berucap satu kata pun. Hanya helaan nafas lelah yang bisa kudengar darimu berkali-kali

         “Apa kamu baik-baik saja?” tanyaku akhirnya, berusaha menepis keheningan yang tercipta diantara kita, seolah kita berdua hanyalah orang asing yang baru saja bertemu. Padahal kita adalah sepasang kekasih yang sudah menjalin hubungan hampir setahun. Meski dalam waktu selama itu semuanya memang tidak berjalan ‘baik-baik saja’

            “Aku bertengkar hebat dengan Ayah” ujarmu sambil mengaduk ice cream chocolate chip mint milikmu. Seolah ice cream itu bisa menggambarkan dengan jelas karaktermu. Orang yang sangat ambisius dan percaya diri. Juga sangat keras kepala untuk mempertahankan suatu pendapat. Sama seperti kamu, yang tak pernah mau mengalah jika berhadapan dengan Ayahmu. Seolah Ayahmu adalah lawan tangguh yang harus kamu kalahkan

 “Aku marah karena Ayah tidak pernah mau percaya padaku. Dia bahkan selalu memandang remeh semua pekerjaan yang aku lakukan. Dia selalu bilang kalau aku tidak bisa apa-apa. Lihat saja, suatu saat nanti aku akan kalahkan Ayah dengan kesuksesan yang aku raih”

            “Wisnu, dia Ayahmu. Bukan lawan yang harus kamu kalahkan” ujarku tak suka. Entah mengapa aku selalu tidak suka dengan semua pendapat yang kamu katakan. Itulah yang membuat kita tidak pernah bisa sejalan. Perbedaan pendapat itu yang selalu memicu pertengkaran diantara kita

         “Aku bahkan merasa kalau aku bukan anak kandung mereka. Apa mungkin sebaiknya aku melakukan tes DNA untuk membuktikan kebenarannya”

         “Wisnu...!!” kali ini aku benar-benar marah. Selama ini aku selalu bisa menahan diri, meski sebenarnya aku sudah tidak tahan. Aku merasa kamu orang yang tidak bisa mensyukuri apa yang kamu miliki saat ini. Seandainya kamu tau, diluar sana ada banyak orang yang ingin berada diposisimu. Terlahir sebagai anak tunggal dalam keluarga yang kaya raya. Tinggal dirumah mewah dan memiliki segalanya. Tapi kamu tidak pernah mensyukuri itu semua. Kamu bahkan selalu mengeluh kalau hidupmu tidak bahagia. Kalau dalam rumah mewah itu kamu merasa hampa. Kalau orang tuamu tidak perhatian dan jarang berada dirumah. Sebenarnya apa yang kamu cari? Bukankah kebahagian itu kita sendiri yang harus menciptakannya? Orang lain tidak bertanggungjawab atas kesedihan dan kehampaan yang kita rasakan. Karena satu-satunya orang yang bertanggungjawab pada kebahagiaan kita adalah kita sendiri. Kamu hanya tidak tau bagaimana memulainya. Karena seumur hidup hanya kamu habiskan untuk mengalahkan Ayahmu. Sekedar ingin membuktikan padanya, kalau kamu bisa lebih hebat dari dia.

            Hening. Aku dan kamu terdiam. Dua mangkok ice cream yang kita pesan sama sekali belum tersentuh. Dan perlahan mulai meleleh. 

            “Clara” panggilmu membuatku mendongak “Aku udah putuskan untuk pergi dari rumah. Dan aku tidak akan kembali sebelum aku meraih kesuksesan dan bisa mengalahkan Ayah” aku menatapmu tidak percaya. Aku benar-benar tidak percaya sebegitu inginnya kamu mengalahkan Ayahmu sendiri, orang yang telah membesarkanmu selama ini. Entah apa yang ada dalam pikiranmu saat ini. Sungguh aku tidak bisa mengerti. Aku juga sudah terlalu lelah untuk sekedar menasehati

            “Lalu hubungan kita?” ujarku menatapmu penuh harap. Meski aku tau tak ada lagi hal yang bisa kuharapkan darimu. Perbedaan pendapat diantara kita sudah terlalu sering terjadi, dan semuanya hanya menyisakan lelah. Bukan hanya tubuh, tetapi juga hati. Tubuh yang lelah mungkin saja bisa diistirahatkan dengan tidur. Tapi hati tidak. Dia butuh lebih dari sekedar itu

          “Mungkin sudah saatnya kita mengakhiri ini semua” ujarmu membuatku seketika memejam mata. Aku tak percaya kisah kita akan berakhir secepat ini. Seperti ice cream yang dengan mudahnya meleleh

            “Apa tidak ada lagi yang bisa kita pertahankan?” ujarku menatap tepat dibola matamu. Berharap mata itu akan menyiratkan kesedihan, juga penolakan. Tiba-tiba saja aku berharap kedua mata itu akan menatapku dengan berjuta penyesalan. Tapi sepasang mata itu tak sedikit pun berpendar, malah kini menghindari tatapanku, membuatku yakin kalau memang tak ada lagi harapan untuk hubungan kita

“Aku tak ingin membuatmu menunggu, sementara tak ada lagi yang bisa kujanjikan untukmu” ujarmu tanpa rasa penyesalan sedikit pun “Terima kasih untuk kebersamaan kita setahun ini. Maafin aku, Ra. Aku pergi” lanjutmu tanpa basa-basi. Bahkan tanpa luapan emosi. Lalu kamu pun bangkit, menuju kasir, dan benar-benar pergi tanpa menoleh lagi.

          Aku hanya bisa menarik nafas panjang, melepas kepergian sosokmu yang perlahan menghilang dibalik pintu cafe. Lalu menatap dua mangkok ice cream kita yang kini benar-benar sudah meleleh.

          Orang bilang cinta itu manis seperti ice cream. Memiliki banyak rasa disetiap kisahnya. Memiliki pasangan sebagai toping yang saling melengkapi dan mangkuk sebagai wadah untuk menyatukan mereka yang saling mencintai. Tapi sepertinya, kisah kita berdua tak semanis ice cream. Kisah kita terlalu cepat berakhir. Seperti ice cream yang keburu meleleh, bahkan sebelum sempat dinikmati. 

Kini aku merasa seperti seorang anak kecil yang ice cream-nya baru saja terjatuh. Tak ada lagi yang bisa kulakukan. Memungutnya pun akan sia-sia. Menangisinya juga percuma. Karena penyesalan dan air mata tidak akan merubah apa-apa. Ice cream yang sudah terjatuh tak akan bisa kembali utuh. Karena itu tak ada jalan lain lagi yang bisa kupilih, selain berhenti meratapi ice cream yang sudah terlanjur jatuh dan meleleh. Mungkin yang bisa kulakukan sekarang hanyalah menghapus air mata, kembali bangkit dan berbalik arah untuk mendapatkan ice cream yang baru. Meski aku tau, untuk mendapatkan cinta yang baru, tidaklah semudah membeli ice cream kesukaanku. Tapi pasti akan ada harapan baru, dibalik kesedihan masa lalu. Dan aku percaya itu. 

*****

            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar