02 Februari 2021

Cerpen "MEMESAN KENANGAN"

Aku baru tau ada perempuan pecinta kopi sepertinya. Dia bisa saja menghabiskan dua sampai tiga gelas kopi sehari, jika lambungnya lagi bersahabat. Katanya kopi itu sumber kebahagiaan.  Kalau ingin membuatnya bahagia, cukup mentraktirnya segelas kopi saja. Aku juga baru tau kalau dia perempuan penikmat sepi ditengah keriuhan malam. Diantara suara klakson dan bebisingan orang-orang, dia menikmatinya seolah sepi seperti itulah yang dia cari. Dan tempat menyepi yang dipilihnya saat ini adalah kedai kopi, yang menurutku sama sekali jauh dari kata sepi.

Bagiku dia perempuan ajaib. Dia mencintai sepi, sementara dia menghidupi dirinya dengan menjadi bising: menjadi penyiar radio.

            “Kenapa kamu harus menjadi penyiar radio jika tidak suka kebisingan?” tanyaku penarasan.

            “Karena kadang kita butuh banyak bising untuk menyadari bahwa sepi itu ada”

Ucapannya benar, malam hari sepulang kerja, saat terjebak ditengah kemacetan tanpa punya teman bicara, diantara suara klakson dan bebisingan orang-orang, kadang aku melarikan diri lalu mendengarkan suara perempuan ini berbicara tentang satu dua hal. Mendengarkan dia membacakan puisi dengan sangat sedih. Lalu bukannya terisi, hatiku malah bertambah sepi. Hanya ada suaranya yang sendu dan rindu.

            “Lalu kenapa kamu sangat menyukai kopi?” tanyaku lagi, masih penasaran.

          “Karena kopi dan perempuan adalah dua hal yang sama, sama-sama keras kepala perihal rasa” seketika aku tertawa mendengarnya. Lalu dia pun mulai bercerita panjang lebar tentang legenda dan mitos dari kopi. Juga tentang kopi yang bisa membuatnya bahagia. 

Dia bercerita seolah dia ahlinya, dan aku hanya mengangguk-angguk mendengar semua ceritanya. Aku memang selalu terhibur dengan cerita-ceritanya, apalagi cara dia bercerita. Suaranya merdu, pengucapannya jelas, tak heran kalau dia pernah menjadi Best Announcer diradionya.

      “Aku baru saja apply beasiswa keluar negeri” ujarnya tiba-tiba. Mungkin ini maksudnya mengajakku bertemu malam ini, disaat aku baru saja pulang kerja dan sebenarnya sangat lelah. Menjadi pegawai disalah satu bank swasta memang menguras cukup banyak waktu dan tenaga.

            “Kok tiba-tiba?” tanyaku menyelidiki.

            “Sebenarnya ini impianku sejak lama. Aku ingin kuliah di luar negeri. Kalau bisa sih di Itali”

            “Karena?”

            “Kali aja aku bisa ambil Master in Coffee Economics and Science-Ernesto Illy”

            “Segitunya kamu cinta sama kopi?”

            “Karena selama ini barista selalu identik dengan laki-laki. Padahal perempuan juga bisa”

            “Ternyata benar yah”

            “Apa?”

        “Kalau perempuan dan kopi sama-sama keras kepala” kulihat dia tertawa “Mungkin aku baru akan menjadi pecinta kopi kalau kamu baristanya” lanjutku bercanda.

            “Mereka yang tidak menyukai kopi adalah orang-orang yang takut menghadapi kehidupan” aku pun akhirnya ikut tertawa.  Aku memang tidak menyukai kopi, karena setiap kali meminumnya, lambungku selalu bermasalah.

    “Kalau nanti aku pergi, kamu nggak akan merasa kehilangan kan?” mendengarnya aku seketika terdiam. Terus terang aku tidak pernah berpikir kalau perempuan ini akan pergi meninggalkanku suatu saat nanti.

          “Yang pasti, aku akan selalu mendukung semua mimpimu” jawabku tersenyum. Aku tau, mungkin nanti aku akan merasa kehilangan. Tapi aku juga tau kalau dia memiliki sayap untuk bisa terbang sejauh yang dia inginkan, tanpa bisa aku kekang.

            “Aku pasti rindu kalau tidak bisa menemuimu lagi” ujarnya jujur seketika membuatku tertawa. Dan aku yakin wajahku pasti sudah memerah.

            “Sekarang kan teknologi sudah canggih. Kamu bisa menghubungiku kapan saja” kulihat dia mengangguk, lalu meneguk habis kopinya tak bersisa. Seolah-olah dia baru saja meneguk wine atau sake.

         “Belakangan ini, aku rasa… aku mulai menyukaimu lebih dari sekedar teman” ujarnya membuatku terkejut “Aku rasa kita mulai memiliki banyak kesamaan. Kamu mulai menyukai semua hal yang aku suka. Dan aku nyaman bercerita apa saja ke kamu. Aku merasa kamu satu-satunya orang yang paling mengerti aku” mungkin benar kalau dia baru saja meneguk wine atau sake hingga ucapannya bisa ngawur seperti ini.

“Apakah kamu memiliki perasaan yang sama?” lanjutnya membuatku terpaku. Sungguh aku sama sekali tidak siap dengan penembakan ini, meski memang kita berdua sudah lama dekat. Hampir lima tahun kita bersahabat. Dan aku tidak percaya kalau perempuan ini yang akan lebih dulu mengungkapkan perasaannya.

“Maaf. Tidak” hanya dua kata singkat itu yang bisa aku ucapkan.

“Okey, kalau begitu kita tidak perlu berhubungan lagi” aku bisa melihat sorot kecewa dalam tatapannya.

            “Jangan pernah menghubungiku lagi untuk alasan apapun. Jangan pernah komen sosial mediaku lagi. Dan aku pun akan melakukan hal yang sama. Aku janji” lanjutnya membuatku tak bisa berkata apa-apa, meski banyak penyangkalan yang sebenarnya ingin kukatakan padanya.

             “Baiklah, jika itu bisa membuatmu bahagia”

            “Dan jika suatu saat nanti kamu menghubungiku lagi untuk alasan apapun, itu berarti kamu takut kehilanganku. Itu artinya kamu juga memiliki perasaan yang sama denganku!!” tegasnya lalu beranjak pergi, menghilang dibalik gelapnya malam. Dan kebodohan yang kulakukan malam ini, aku hanya terdiam. Tidak mengejarnya atau kemudian menelponnya dan meminta maaf. Malam ini aku hanya terpaku disudut kedai kopi yang perlahan menyepi. 

***

         Malam ini, dikedai kopi yang sama, disudut yang sama, tepat jam sembilan malam, waktu yang seharusnya aku sudah berada dirumah dan berbaring menghilangkan lelah, justru membawaku kesini. Ternyata benar, kopi selalu berteman dengan kenangan. Jika kamu meneguk segelas kopi, ada kenangan yang akan menggenang didasar gelasnya.

            Sejak malam itu, aku dan perempuan itu tidak pernah berhubungan lagi. Kabar terakhir yang kudengar dia sudah berangkat ke Italia menggapai mimpinya. Foto-foto bahagianya sempat kulihat dibeberapa akun sosial medianya. Dan dia pergi tanpa pamit padaku atau sekedar mengucap salam perpisahan.

Dia menepati janjinya untuk tidak menghubungiku lagi. Dan aku pun menepati gengsiku untuk tidak menghubunginya lagi dengan alasan apapun. Meski dibeberapa momen aku ingin sekali menanyakan kabarnya atau mengomentari story-nya. Tapi seperti janjiku, aku tidak melakukannya. Karena jika aku menghubunginya lagi, itu artinya aku telah membohongi perasaanku sendiri. Aku bahkan tidak tau bagaimana perasaanku yang sebenarnya. Selama lima tahun bersahabat, dia satu-satunya perempuan yang membuatku nyaman. Dia perempuan yang padanya aku bisa bercerita apa saja. Yang dengannya aku bisa menjadi diriku apa adanya.

Memang tidak akan ada persahabatan yang benar-benar murni antara lelaki dan perempuan. Keduanya pasti memiliki keterikatan hubungan. Entah siapa yang duluan menyimpan perasaan terhadap yang lainnya. Tapi aku sama sekali tidak membencinya karena telah mengkhianati persahabatan kami. Aku justru merasa bersalah karena telah membuatnya kecewa. Dan itu membuatku menyesalinya.

       Malam ini, setelah ribuan malam yang aku lewati, tiba-tiba saja aku merindukannya. Rindu yang sangat dalam. Rindu yang tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Sebuah rindu yang mungkin bisa terobati hanya dengan aku menghubunginya. Tapi semenjak beberapa bulan lalu, dia telah menghapus aku dari kontak whatsapp-nya sehingga aku tidak bisa lagi melihat story-nya. Dia juga sudah unfollow aku dari semua akun sosial medianya. Hingga aku benar-benar tidak tau lagi kabar tentangnya. Dan aku baru merasa kalau kehilangan itu bisa sesakit ini. Kalau rindu itu bisa se-sesak ini.

            Aku memesan segelas kopi hitam pekat, favoritnya. Sejak kehilangannya aku mulai menjadi pecandu kopi. Katanya, sedih bisa dibunuh dengan mudah oleh secangkir kopi. Kepulan asapnya membawa aroma menenangkan, menghirup aroma kopi bisa membuat saraf mengendur. Kalau ada saraf yang mengatur rasa rindu, dia juga akan mengendur. Dan setiap kali ingin bekerja aku harus minum kopi agar bisa lebih berkosentrasi. Agar pikiranku tidak mengembara kemana-mana. Katanya secangkir kopi akan menggiring pada sepotong ingatan tentang seseorang. Secangkir kopi kadang menjadi harga yang harus dibayar untuk bisa bertemu seseorang.

Dan malam ini aku baru sadar, aku bisa saja mendatangi semua kedai yang pernah kita singgahi, menyapa kenangan dan memesan beberapa gelas kopi. Tapi satu hal, aku tetap tak bisa memesan kehadirannya disini, sekalipun aku sangat merindunya setengah mati. @murthyf.rone

Cerpen ini dibuat dalam bentuk puisi musikal bisa dengar di SPOTIFY

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar