08 Mei 2020

Cerpen "CINTA TANPA BATAS"

(Cerpen ini terinspirasi dari Sikola Harapan dan Komunitas Cinta Tanpa Batas)

 Namanya Sikola Harapan. Tapi kenyataannya bukanlah sekolah seperti kebanyakan. Tak ada gedung, tak ada bangku dan meja, apalagi lapangan. Hanya sebuah teras mesjid tua yang dijadikan tempat pembelajaran. Beralaskan terpal biru, semuanya duduk melantai, merasakan kasarnya lantai semen yang belum dibaluti tehel, apalagi marmer berkilau. Tak ada jendela, hanya berdindingkan pemandangan alam yang begitu indah, angin sejuk yang menampar wajah, seolah menyadarkan kalau kebahagiaan itu bukan hanya milik kita semata. Tapi juga mereka.


Di Sikola Harapan ini, tempat anak-anak Dusun Kalora menggantungkan harapan. Sebuah dusun dikaki Pegunungan Gawalise yang jauh dari perkotaan, hingga jarak ke sekolah yang sangat jauh pun menjadi alasan mereka untuk bermalas-malasan. Anak-anak kecil ini mungkin belum paham tentang masa depan. Tentang pentingnya pendidikan dan sulitnya nanti mencari pekerjaan. Yang ada dalam pikiran mereka hanyalah bermain dan bersenang-senang.


“Halo adik-adik semua, hari ini kita kedatangan tamu” sapa Oji yang aku tau sebagai pendiri sekolah ini. Tadinya aku pikir dia seorang Guru yang ditugaskan dipedalaman atau seorang anak muda bergelar Sarjana Pendidikan yang lagi magang. Tapi ternyata dia seorang Dokter Muda yang sedang menyelesaikan Koas-nya.

“Hai adik-adik, kenalkan, nama saya Putri”

Didepan anak-anak ini aku berusaha mengenalkan diriku dengan bahasa yang mudah mereka mengerti. Sesekali aku bertanya pada Oji. Sesekali juga dia tertawa melihat aku yang mendadak kebingungan. Jujur, aku bukanlah seseorang yang bercita-cita menjadi Guru. Aku juga tidak cukup sabar untuk bisa berhadapan dengan anak-anak. Tak heran kalau aku sangat takjub pada Oji yang menjadi pendiri sekolah ini. Aku seolah bisa membayangkan bagaimana pusingnya berhadapan dengan puluhan anak dengan karakter yang berbeda. Apalagi mereka lebih sering menggunakan bahasa daerah. Pasti dibutuhkan kesabaran ekstra.

“Jadi kak Putri mau memberikan kejutan apa untuk adik-adik ini?” ujar Oji seketika membuat aku kelabakan “Mau mengajar atau memberikan games mungkin?” lanjut Oji membuat aku semakin panik. Mengajar? Sumpah, aku sama sekali tak berbakat. Games apalagi. Bahkan merebut perhatian mereka pun aku tak yakin bisa. Bagaimana kalau mereka hanya menatapku aneh. Garing. Krik. Krik. Aku tak mau mengubah sekolah ini menjadi kuburan yang hening.

Setelah berpikir lama, aku tiba-tiba teringat sesuatu. Aku lantas mengeluarkan kertas origami dari dalam tasku. Aku memang selalu membawanya kemana-mana.

“Okey adik-adik semua, kali ini kak Putri mau mengajarkan kalian membuat burung origami” ujarku lalu mulai membagikan kertas berwarna-warni. Dan sambil melipat aku pun mulai mendongeng. Mungkin bakatku hanya sebatas ini

“Menurut legenda, kalau kita membuat seribu burung origami dan menyimpannya dalam toples kaca, maka keinginan kita akan dikabulkan” aku sengaja memilih bahasa yang paling sederhana agar anak-anak ini bisa memahami ceritaku.

Ada dua orang kakak beradik yang sudah tidak memiliki orang tua. Yang mereka lakukan sehari-hari adalah mengumpulkan barang-barang bekas dan menjualnya untuk dibelikan makanan. Pada suatu hari, sang Kakak mengumpulkan kertas koran dari tempat sampah, lalu mengajari adiknya membuat burung origami. Sang kakak berkata, kalau membuat seribu burung origami, maka keinginan mereka akan terwujudkan. Lalu sang adik pun menjadi sangat semangat melipat burung-burung itu.

Hari demi hari mereka melipat, burung-burung itu pun semakin banyak. Mereka melipat sambil tertawa-tawa seolah melupakan beban kehidupan yang berat. Hingga suatu hari datanglah seorang bapak dan sangat tertarik dengan burung-burung itu. Dia lalu menawari kedua kakak beradik itu untuk menukar burung-burung origami mereka dengan sepotong roti cokelat.

Awalnya sang kakak keberatan, dia mengingat semua perjuangan mereka melipat burung-burung itu. Dia teringat dengan keinginan mereka yang hampir terwujudkan.  Namun melihat sang adik yang begitu menginginkan roti cokelat, tergiur oleh rasa penasaran, karena mereka memang belum pernah menyantap roti selezat itu, akhirnya sang kakak merelakan setoples burung origami yang telah mereka lipat dengan penuh perjuangan. Dengan tawa canda dan cerita-cerita kehidupan yang sebenarnya tidak bisa digantikan, bahkan oleh roti cokelat selezat apapun. Tapi demi sang adik, dia pun merelakan segalanya. Termasuk keinginan mereka yang hampir terwujudkan.

Aku melihat anak-anak itu terdiam mendengar ceritaku. Entah paham atau malah kebingungan. Oji pun terpaku disisiku. Mendadak suasana hening. Aku berharap, kelak anak-anak ini tidak akan menukarkan begitu saja cita-cita mereka dengan sepotong roti cokelat, sekalipun mereka sangat menginginkannya. Karena kehidupan bukan hanya tentang makanan yang lezat atau kebahagiaan yang bisa dinikmati sesaat. Mereka butuh pendidikan untuk bisa bersaing dalam kehidupan. Karena hidup butuh perjuangan.

“Okey, sekarang kita membuat pesawat” ujarku berusaha memecah hening. Anak-anak itu seolah tersadar dari lamunan panjang, lantas bersorak kegirangan. Oji membantuku membagikan kertas berwarna-warni. Lalu mengajari mereka membuat pesawat.

Setelah selesai, Oji dan anak-anak itu membawaku ke suatu tempat. Dimana aku bisa menyaksikan pemandangan kota dari kejauhan. Rumah-rumah yang berderet rapi layaknya miniatur yang dilihat dari pegunungan. Disinilah kita akan menerbangkan pesawat-pesawat penuh harapan ini

“Sebelum menerbangkannya, kalian harus membisikkan cita-cita kalian, meniupkannya pada ekor pesawat, lalu menerbangkannya” ujarku penuh semangat. Anak-anak itu pun menyambutnya dengan tak sabaran

“Siaaapp...” teriakku. Dan mereka pun mulai membisikkan cita-cita mereka. Ada yang ingin menjadi dokter seperti Oji. Ada yang ingin menjadi tentara. Ada yang ingin menjadi guru. Dan entahlah mungkin ada yang ingin menjadi pendongeng sepertiku.

Lalu dalam hitungan ketiga, pesawat dari kertas berwarna-warni itu mulai diterbangkan. Meliuk-liuk diterpa angin menuju lembah, menuju perkotaan dibawah sana. Mengantarkan cita-cita mereka untuk diwujudkan disuatu masa. Aku melihat Oji sibuk mengabadikannnya dengan kamera. Ini pasti akan menjadi moment paling berharga. Dimana anak-anak itu terlihat sangat bahagia, tertawa-tawa, menyaksikan pesawat mereka terbang dengan sempurna. Diam-diam aku berdoa, semoga semua harapan mereka didengar oleh Sang Pencipta.

Saat membuka mata, anak-anak itu sudah berlarian untuk kembali membaca. Hanya ada Oji yang masih sibuk dengan kameranya. Aku yakin dia sempat mengambil gambar saat aku sedang khusyuk berdoa. Lalu aku teringat dengan satu pesawat yang sengaja aku buat untuknya

“Kamu belum membisikkan harapan kamu” ujarku, lalu memberikan pesawat itu padanya. Dia tertawa kecil “Konyol” ujarnya, tapi tetap meraih pesawat kertas itu dari tanganku. Aku melihat Oji membisikkan sesuatu, meniupkannya pada ekor pesawat lalu mulai menerbangkannya. Giliran aku yang mengambil gambarnya. Senyum Oji mengembang seiring dengan terbangnya pesawat itu. Wajahnya terlihat sangat bahagia. Tulus, seperti cintanya pada anak-anak itu.

“Jadi, kamu membisikkan harapan apa tadi?” tanyaku pada Oji. Dia lantas tersenyum

“Aku ingin anak-anak itu tidak berpikiran kalau dengan tinggal di pegunungan mereka lantas tidak berhak akan pendidikan. Aku ingin mereka seperti anak-anak lainnya yang memiliki masa depan” ujarnya membuatku terpana

“Harapan yang sangat mulia” seketika Oji tertawa mendengar ucapanku

“Inar...” tiba-tiba Oji memanggil seorang anak yang tanpa sengaja melintas didepan kita. Anak kecil itu kini berlari menghampiri aku dan Oji

“Kenalkan Put, ini Inar. Dia yang menginspirasi aku untuk menulis puisi waktu itu” Aku menatap seorang anak kecil didepanku. Usianya mungkin sekitar tujuh tahun. Kulitnya gelap, sangat kontras dengan kulit Oji yang putih bersih. Rambutnya sebahu, lurus. Beda dengan teman-temannya yang cenderung ikal dan keriting. Dia tersenyum padaku. Ramah. Sorot matanya penuh semangat.

            Tentang anak ini Oji sering cerita padaku. Dia bahkan menuliskan puisi dengan judul Langit Biru untuk Inar, yang aku bacakan saat aku sedang siaran di Radio membawakan Program Acara Puisi. Mungkin bagi Oji, anak ini sangat spesial. Dia bahkan sering memasang foto Inar diakun Instagramnya

            “Entahlah Put, anak ini membuatku jatuh cinta. Dia bilang kalau dia juga sayang banget sama aku, tiba-tiba dia peluk aku dan minta digendong. Kayaknya dia berharga banget” jelas Oji membuatku terharu. Aku tak menyangka, Oji yang terlihat tangguh ternyata memiliki sisi melankolis. Bahkan mungkin sedikit romantis

            “Kamu tau nggak, anak kecil itu sama sekali tidak punya bakat buat berbohong tentang perasaannya. Pelukan dia itu tulus. Ucapan sayangnya benar-benar dari hati. Dan jika dia minta digendong, itu berarti dia nyaman sama kamu. Beda sama orang dewasa. Mungkin saja kalau sekarang aku tiba-tiba peluk kamu, itu bukan karena aku tulus, tapi modus. Karena menurutku, orang dewasa lebih terlatih berbohong tentang perasaannya” ujarku membuat Oji tertawa

            “Soal teman-teman kamu yang membenci, bahkan menghujat kamu, biarkan saja. Seperti yang pernah kamu bilang, kalau cinta itu tak berbatas. Bahkan untuk orang-orang yang membenci kita sekalipun, cinta akan tetap mengalir luas. Jangan menyerah yah Ji, kamu harus terus berjuang untuk mereka. Untuk Inar dan anak-anak ini”

            “Makasih yah Put” Oji tersenyum menatapku “Aku sendiri tidak tau akan sampai dimana dan sampai kapan aku bertahan. Yang aku tau, setulus apapun kita berbagi kebaikan, tetap akan ada yang membenci. Bahkan orang yang kita anggap sahabat sendiri, bahkan orang yang pernah sangat kita cintai. Orang yang selalu berdiri didepan dan membela kita, tiba-tiba saja sudah berada dibelakang dan menusuk kita. Sakit..” aku tau bagaimana sulitnya Oji melewati semua ini. Disaat teman-temannya berkata kalau semua yang dilakukannya hanyalah pencitraan semata. Bahkan orang yang pernah mencintainya pun tega melukai perasaannya. Tapi seperti itulah kehidupan. Bagaimana kita seharusnya bertahan.

            Aku dan Oji bangkit, bergegas menuju anak-anak itu untuk pamit. Langit sore hampir berubah gelap. Semoga saja kebahagiaan ini tidak ikut lenyap. Seperti matahari yang tenggelam dibarat. Esoknya dia akan terbit lagi dari tempat yang berbeda. Begitu juga kebahagiaan. Satu kebahagiaan bisa saja hilang. Tapi besoknya dia akan tergantikan dengan kebahagiaan lain dari tempat yang berbeda. Seperti itulah kehidupan.

            Motor Oji melaju meninggalkan kaki pegunungan. Membawa setumpuk harapan yang harus terus dia perjuangkan. Bukan untuknya. Bukan untuk komunitasnya. Tapi demi anak-anak itu. Demi masa depan mereka. Karena berbuat kebaikan sudah menjadi tanggung jawab kita semua.

            Cinta tanpa batas. Dilangit yang terhampar luas. Burung-burung beterbangan bebas, melintas dalam dingin dan panas. Samar yang setipis kertas, jangan biarkan jadi pembatas. Biarkan cinta merangkai jingga disudut-sudut teras. Mengusir cemas, kehidupan-kehidupan ganas. Biarkan cinta menghapusnya tak berbekas. Dengan kasihnya yang maha luas. Karena cinta tak akan pernah berbatas.

Video Clip Cerpen ini bisa nonton di YOUTUBE atau dengarkan lewat SPOTIFY


Tidak ada komentar:

Posting Komentar