25 Juli 2019

Cerpen "SURAT CINTA DARI MEDAN PERANG"

Temaram lampu meredup. Suara angin menelusup, merindingkan bulu kuduk. Membius mata-mata kantuk. Tubuh lelah terbaring menelungkup. Menyekap mulut tuk berucap. Senyap. Senyap.
Lalu malam terasa kian panjang. Waktu begitu lamban berjalan. Tik tok tik tok, putaran jarum jam tak mau diam. Bagai orkestra diruang pertunjukan. Riuh, tapi mencekam. Lalu apalagi yang lebih menakutkan? Kematian? Tarian setan-setan? Atau bunyi senapan?

Sudah sebulan aku berada dimedan peperangan. Dan semua itu seolah sudah tak mempan. Aku tak lagi merasakan ketakutan. Hanya satu hal yang mampu membuatku gemetaran. Hingga tarikan nafas terasa menyesakkan. Aku selalu takut pada kerinduan. Yang tiba-tiba menyergap tanpa belas kasihan.
Aku selalu ketakutan jika rasa itu datang. Mengingatkanku pada orang-orang tersayang. Pada saudara, teman, karib, kerabat, orang tua dan seorang perempuan. Kadang, menjadi Tentara memang bukanlah sebuah pilihan. Dibalik seragam gagah yang dikenakan, ada resiko yang harus diemban. Dibalik tangan memegang senapan, ada kematian yang selalu siap jadi kenyataan. Beriringan menemani langkah menuju medan peperangan. Tempat nyawa menjadi taruhan. Tempat dimana pembuktian ditentukan.
Menjadi seorang Tentara bukanlah sebuah pilihan. Tapi sebuah keharusan. Tanpa mengenal arti balasan. Demi sebuah pengadian pada Negara. Seperti sepenggal bait dalam Lagu Padamu Negeri “Bagimu Negeri, jiwa raga kami....” seolah tak ada satupun yang bisa menandingi.
            “Mengapa dari sekian banyak profesi, kamu harus memilih menjadi tentara?” tanya Perempuan itu beberapa tahun yang lalu, saat kita baru saja lulus SMA.
            “Karena menjadi tentara adalah cita-citaku. Aku ingin menjadi abdi negara” mantap jawabku, namun malah membuatnya tertawa.
            “Tidak bisakah kita sama-sama mendaftar masuk kuliah keguruan? Bukankah menjadi guru juga kita bisa mengabdi pada negara? Atau jadi dokter. Jadi PNS. Jaksa. Dosen. Asal jangan jadi tentara, karena itu bisa membahayakan nyawa” mendengarnya aku balik tertawa.
            “Kematian sudah ditentukan sang pencipta. Tak ada yang bisa mencegahnya kalau sudah waktunya. Juga tidak akan memilih apapun profesi kita”

Kematian memang adalah sebuah misteri, meski hal itu sudah pasti terjadi. Bagi mereka yang ditinggalkan, kematian tentulah menimbulkan kedukaan yang mendalam. Rasa kehilangan yang tak terungkapkan. Sekalipun Negara memberikan penghormatan tertinggi kepada mereka yang gugur dalam tugas yang diemban. Tapi rasa kehilangan, tetap akan selalu terbayang sepanjang kehidupan.

Aku tau perempuan itu sangat mengkhawatirkan aku. Aku tau dia sangat mencintaiku, hingga tak ingin berpisah. Tak ingin sesuatu terjadi diantara kita. Tapi setiap orang memiliki cita-cita. Dan untuk meraihnya sudah menjadi tujuan hidup setiap manusia.

Menjadi seorang Tentara berarti dia lebih mencintai Negara daripada nyawanya. Daripada keluarga, sahabat, karib, kerabat, bahkan orang tua yang melahirkannya. Apalagi hanya seorang perempuan yang menunggu sebuah ungkapan cinta.

Andai perasaan cinta itu bisa direncanakan, mungkin mereka akan memilih jalan yang paling aman. Memilih mundur jika memang tak sanggup bertahan. Tapi sejatinya cinta bukanlah sebuah pilihan.
Untuk para perempuan yang berani mencintai seorang Abdi Negara, teruslah berjuang mempertahankan cinta. Percayalah, masa depan yang saat ini sedang mereka perjuangkan, hanya untuk seseorang yang rela menunggunya dengan penuh kesabaran. Kelak, semua penantian itu akan ditutup dengan cerita kebahagiaan.
            Saat itu aku lulus menjadi Tentara dan mendapat tugas pertama kali di Kabupaten Poso, salah satu daerah pasca konflik yang ramai menghiasi pemberitaan akhir-akhir ini. Salah satu daerah di Pulau Sulawesi yang belum pernah kudatangi. Dan aku pergi mengabdikan diri, tanpa sempat mengucap janji pada yang terkasih.

Gunung biru ini seolah menjadi saksi tentang perjuangan kami, yang bagai mencari jarum ditumpukan jerami. Memberantas sarang teroris yang paling ditakuti. Pagi tadi, kami mengepung Gunung yang terkenal ini dari segala penjuru, menembakkan 20 roket penghancur RM-70. Baku tembak pun membisingkan Gunung biru, bersama empat helikopter yang menderu-deru. Menewaskan salah satu teroris yang paling diburu. Sayangnya bukan Pimpinannya yang mati terbunuh, hingga perjuangan kami masih akan terus berlanjut di Gunung biru. Entah untuk beberapa waktu.
Gunung biru sejatinya bukanlah gunung. Warnanya juga bukan biru, tetapi berisi pepohonan rapat berwarna hijau. Gunung biru sesungguhnya adalah jajaran pegunungan berlapis, yang hampir bersambungan dengan jajaran pegunungan yang membentang vertikal dari utara hingga selatan dileher Pulau Sulawesi.

Malam ini, selepas pertempuran sengit pagi tadi, semuanya seakan hening. Tak ada bunyi senapan lagi. Bahkan jangkrik pun enggan berderik. Sunyi mencekik. Aku menatap langit. Ilusiku menghadirkan wajah perempuanku yang cantik. Lalu kutuliskan sebuah surat cinta pada kertas secarik....

Wahai perempuanku, maaf belum juga memberi kabar padamu. Bukannya tak mau, atau sedikit tak ada waktu. Hanya saja aku terlalu takut kamu akan tau tentang penderitaanku. Tentang langit biru yang menjadi atapku. Tentang rumput berduri yang menjadi alas pembaringanku. Ada juga bunyi senapan dimana-mana, seolah mengabarkan kematian dengan sangat nyata. Menari-nari didepan mata.
Kamu pasti ingin sekali bertanya perihalku. Bagaimana keadaanku? Menangkah aku dalam peperangan? Sulitkah hidupku? Takutkah aku mati terbunuh?
Kamu pasti berpikir aku takut dengan semua itu. Tidak sayang! Aku sungguh tak takut pada kematian, apalagi hanya bunyi senapan. Aku justru lebih takut pada sebuah kerinduan. Tahukah kamu apa itu rindu? Semacam perasaan yang menyandera segala organ tubuh. Lebih menyiksa dari sekedar mati terbunuh.
Sungguh tak ada yang bisa kujanjikan padamu, perempuanku. Engkau yang menungguku diantara bayu yang berlabuh. Sementara aku tegak berdiri dibalik Gunung Biru. Senja yang sama menaungi langit kita yang abu-abu. Lalu mungkin kau temui beberapa kata mulai merapuh..
Tahukah kamu perempuanku. Tubuh tegap ini sama sekali tak bisa setiap waktu mendekapmu. Seragam loreng dan senjata ini tak bisa menandingi kejutan mawar merah super romantis yang kamu tunggu. Tapi percayalah aku sedang memperjuangkan sesuatu. Untuk seseorang yang selalu setia menantiku. Aku mohon bersabarlah menunggu. Segera setelah peperangan ini usai, aku pasti menemuimu. Meminta jawabanmu atas cintaku yang telah kusimpan sejak dulu. Sudikah kamu menjadi pendamping hidupku?

Cerpen ini bisa didengar lewat SPOTIFY

Tidak ada komentar:

Posting Komentar