02 September 2021

Cerpen "HUJAN PERTAMA DI HARBIN"

            Jalanan Zhongyang Dajie terlihat basah. Beberapa orang nampak berteduh dibawah kanopi atap sepanjang pertokoan, menunggu hujan reda. Dulunya tempat ini dipenuhi gedung-gedung bersejarah dengan arsitektur bergaya eropa, yang kini telah beralih fungsi menjadi toko, restoran, kafe, hotel, bahkan apartemen, tanpa menghilangkan esensi sejarah dan estetika seninya. Ini hujan pertama sejak aku berada di Harbin, kota yang mendapat julukan oriental moskwa yang merupakan Ibu kota Provinsi Heilongjiang. Tak ada yang berbeda, hujan disini pun sama seperti di Indonesia. Hanya saja di Harbin terasa lebih dingin dengan suhu minus sepuluh derajat. Teringat pertama kali aku keluar dari Bandara Udara Internasional Taiping Harbin, hawa dingin menjalar dengan cepat sampai membuat darah seperti berhenti mengalir, menusuk-nusuk tulang hingga membuat sulit bergerak. Wajah terasa menebal seketika, bibir kering dan bernafas pun begitu berat. Aku pikir aku tidak akan mampu bertahan. Tapi setelah lebih dari sebulan berada disini, aku mulai terbiasa.

            Tadinya aku hanya ingin membeli beberapa stock makanan cepat saji di Chao Shi Midoudou, swalayan langgananku, bahkan aku sudah punya kartu member saking sering belanja ditempat ini. Disini harganya lebih murah untuk ukuran mahasiswa sepertiku. Aku membeli beberapa mie, jiaozi dan beberapa makanan box yang bisa aku masak kalau sedang terburu-buru. Hingga akhirnya aku terjebak hujan disini.

            Aku merapatkan jaketku, lalu meniup-niup telapak tanganku yang mulai membeku. Sesekali menatap langit kelabu, berharap buliran-buliran bening yang jatuh menghempas tanah itu segera lenyap, entah berubah jadi uap atau menjelma embun dikaca jendela. Aku hanya ingin bisa segera sampai di apartemenku, tanpa harus nekat basah kuyup lebih dulu yang membuat sekujur tubuhku asli membeku.

            “Xian sheng, Ni dai yusan ma?”1 aku menoleh pada Ibu penjaga swalayan yang akrab dipanggil Ayi. Dia memang sudah mengenalku karena sering belanja disini

            “Mei dai,wangji le” 2 aku tersenyum sambil menggaruk kepalaku

            “Na, Gei ni wode?” 3 tawarnya membuatku cepat-cepat menolak

          “Bu yong, xie xie Ayi”4 ujarku sopan. Aku juga tidak sedang terburu-buru. Dan mungkin aku bisa menikmati hujan dari sini.

Sebenarnya aku bukan tipe orang yang sangat menyukai hujan, menganggap kehadiran hujan sebagai sesuatu yang istimewa. Yang kadang begitu dipuja. Bagiku arti hujan hanya satu, yaitu aktivitas yang terganggu. Lalu menunggu sampai sang hujan berlalu. Tapi aku pernah mendengar penelitian ilmuwan, bahwa hujan dapat menghipnotis manusia untuk me-resonansi-kan ingatan dimasa lalu. Saat hujan turun, kadar serotonin dalam otak ikut menurun sehingga mood berubah dan membuat seseorang melamun dan menjadi melankolis. Aku sebenarnya tidak terlalu percaya dengan teori itu, meski beberapa orang pernah mengalaminya. Aku melihat jalanan aspal didepanku mulai menggenang dibeberapa bagian.

        “Hujan tak pernah kehilangan sisi keromantisannya, sekalipun dia menyebabkan banjir atau genangan dijalanan” seketika suara itu menggema ditelingaku, seolah menarikku dalam lorong waktu. Lalu aku melihat orang-orang yang berteduh tadi, juga kendaraan yang lalu lalang seolah bergerak lambat layaknya adegan slow motion dalam sebuah film. Dan aku seperti terhempas dimasa lalu.

Didalam hujan ada lagu yang hanya bisa didengar oleh mereka yang rindu” aku tidak sedang mendengar lagu sekarang, tapi aku mendengar suara perempuan itu. Perempuan pecinta hujan dan keromantisan. Dia selalu menyebut dirinya Pluviophile.

“Kamu tau, orang yang menyukai hujan biasanya lebih bahagia. Para pluviophile dianggap lebih menikmati kehidupannya saat ini dan mereka lebih percaya diri. Mereka juga bisa melihat keindahan dalam sesuatu yang banyak orang anggap sebagai kesedihan. Dan para pluviophile terbukti lebih kuat bertahan” ujarnya seolah sedang membicarakan dirinya sendiri. Dan semua yang dia katakan adalah benar. Dia perempuan paling ceria dan bersemangat yang pernah aku kenal. Aku menyukai tawanya yang kadang seperti menular, membuatku selalu merasa bahagia setiap kali bersamanya.

“Kenapa kamu menyukai hujan?” tanyaku waktu itu. Dan seperti biasa dia tersenyum, lalu menatap bulir-bulir bening yang sedang jatuh dari langit.

“Karena dalam hujan selalu ada makna yang tersimpan dan terlepaskan. Karena hujan selalu memberiku ketenangan” mendengarnya aku justru tertawa.

“Percuma menyukai hujan. Percuma mengistimewakan hujan, kalau saat hujan seperti ini kamu malah berteduh” ledekku membuatnya kesal.

“Kayak aku dong, tidak begitu memuja hujan, tapi aku berani menembusnya” selepas mengucapkan kata-kata itu, aku berlari meninggalkannya yang masih berteduh dikoridor depan toko buku. Sore itu dia memintaku menemaninya ke toko buku, lalu kita terjebak hujan. Sayangnya, aku tidak memiliki mobil yang bisa melindunginya dari panas dan hujan.

Mungkin kesal atau tersinggung dengan ledekanku, dia akhirnya berlari mengikutiku menembus hujan. Pakaiannya basah kuyup, begitu juga dengan rambut panjangnya. Tapi aku melihat dia tetap tersenyum bahagia. Lalu besoknya dia diopname. Dan aku baru tau kalau ternyata dia mengidap asma dan tubuhnya tidak tahan dingin. Saat itu aku benar-benar merasa bersalah padanya. Bahkan aku berjanji pada diriku sendiri, kalau aku akan melindunginya dari hujan. Kalau aku akan memarahinya kalau dia sampai nekat main hujan.

Satu tetes air hujan tanpa sadar membasahi rambutku, membuatku seolah kembali ke masa sekarang. Hujan telah menghempaskanku kembali ke tempatku berada saat ini. Apakah benar teori resonansi ingatan itu? Mungkinkah aku baru saja mengalaminya? Aku menatap buliran-buliran bening itu yang jatuh menghempas tanah.

Kalau kita tiba-tiba memikirkan seseorang, berarti orang itu juga sedang memikirkan kita” suara perempuan itu menggema lagi. Mungkinkah dia sedang memikirkanku sekarang? Apakah ditempatnya juga sedang hujan?

Sayangnya, perempuan itu kini membenciku. Saat aku mendapat beasiswa S2 di Harbin, aku tidak memberitahunya. Bukan tidak ingin, tapi aku masih belum yakin dengan keputusanku. Saat itu aku masih bimbang antara ingin berangkat atau tidak. Aku ingin memberitahunya nanti kalau aku benar-benar sudah siap. Tapi akhirnya dia lebih dulu mendengar kabar itu dari orang lain. Dan itu membuatnya sangat kecewa.

            “Padahal aku yang selama ini mendukung kamu meraih mimpimu, tapi ketika kamu lulus, kamu bahkan tidak memberitahuku” belum pernah aku mendengar dia semarah itu. Sorot matanya memendam kekecewaan yang dalam “Atau mungkin aku bukan orang yang pantas untuk diberi tau” itu kata-kata terakhir yang aku dengar darinya dan setelah itu dia tidak pernah menghubungiku lagi. Bahkan ketika aku akan berangkat ke China, dia tidak mengantarku ke Bandara. Jangankan mengantar, mengucapkan selamat tinggal pun tidak. Mungkin dia benar-benar marah padaku. Dan aku sangat menyesal. Aku membenciku diriku sendiri.

            Aku bukannya tidak menganggap keberadaannya sama sekali, bahkan jika dia tau, sebenarnya dia adalah orang yang sangat penting untukku. Hanya saja aku tidak tau cara menyampaikannya. Aku terlalu kaku untuk mengekspresikan perasaanku. Dan semuanya sudah terlanjur membeku. Dia tak pernah lagi menghubungiku. Dan saat hujan kali ini tiba-tiba saja aku merindu.

            “Hey, yu ting le” 5 suara itu mengagetkanku. Dan aku melihat hujan sudah berenti, meski dingin masih menyelimuti “Tian na, ni zai zuo meng a?” 6 Ayi meledekku dan aku hanya tersipu malu. Ternyata benar, hujan bisa menghipnotis manusia dan menjebaknya dalam dimensi waktu.

            “Ayi, wo xian zou, bai bai” 7 pamitku lalu bergegas meninggalkan Miduoduo. Aku baru saja akan menyebrang jalan menuju apartemenku ketika ponselku tiba-tiba berdering. Dari nada deringnya, aku tau kalo itu pesan whatsapp, berarti seseorang dari Indonesia yang menghubungiku. Di China kita lebih sering menggunakan aplikasi wechat.

Aku membuka ponselku, begitu penasaran. Lalu membaca pesan yang tertulis disana

Wo xiang ni8

Seketika aku tersenyum, apalagi ketika tau kalau pengirim pesan itu adalah perempuan yang sedang aku pikirkan. Sejak kapan dia belajar bahasa mandarin. Aku masih saja tersenyum dan aku janji setiba diapartemenku nanti, aku akan langsung menelponnya dan menceritakan tentang hujan pertamaku di Harbin. Sebentar lagi imlek. Dan menurut urban legend yang aku dengar disini, bahwa hujan dianggap sebagai suatu keberuntungan. Hujan dihari imlek dimaknai sebagai awal yang bagus dalam musim semi. Selain itu masyarakat Tiongkok juga meyakini jika turunnya hujan berarti Dewi Kwam Im sedang menyiram bunga Mei Hua yang mana bisa diartikan sebagai turunnya berkah dari langit. Aku yakin perempuan itu akan sangat exicted mendengar ceritaku, yang membuatku sudah tak sabar ingin cepat-cepat sampai diapartemenku dan menelponnya.

Ketika aku akan menyeberang jalan, tepat didepanku aku melihat pelangi melengkung dilangit Harbin. Sungguh sangat indah. Betapa hujan kali ini menghadiahkan aku tentang banyak hal yang tidak pernah kualami sebelumnya. Dan mungkin mulai saat ini aku akan menyukai hujan sesering aku merindukannya*** (Juara 1 Lomba Menulis Cerpen Remaja yang diselenggarakan Cahaya Pelangi Media dengan tema Hujan)

 Catatan:

  1. Apa kamu tidak membawa payung?
  2. Iya, aku lupa
  3. Mau saya pinjamkan payung?
  1. Tidak perlu, terima kasih bibi
  2. Hujannya sudah berhenti
  3. Astaga, kamu melamun yah?
  4. Bibi, aku pergi dulu
  5. Aku merindukanmu 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar