(Cerpen ini terinspirasi dari Sikola Harapan dan Komunitas Cinta Tanpa Batas)
Namanya Sikola Harapan. Tapi kenyataannya bukanlah sekolah seperti kebanyakan. Tak ada gedung, tak ada bangku dan meja, apalagi lapangan. Hanya sebuah teras mesjid tua yang dijadikan tempat pembelajaran. Beralaskan terpal biru, semuanya duduk melantai, merasakan kasarnya lantai semen yang belum dibaluti tehel, apalagi marmer berkilau. Tak ada jendela, hanya berdindingkan pemandangan alam yang begitu indah, angin sejuk yang menampar wajah, seolah menyadarkan kalau kebahagiaan itu bukan hanya milik kita semata. Tapi juga mereka.
“Halo adik-adik semua, hari ini kita kedatangan tamu” sapa Oji yang aku tau sebagai pendiri sekolah ini. Tadinya aku pikir dia seorang Guru yang ditugaskan dipedalaman atau seorang anak muda bergelar Sarjana Pendidikan yang lagi magang. Tapi ternyata dia seorang Dokter Muda yang sedang menyelesaikan Koas-nya.
“Hai adik-adik, kenalkan, nama saya
Putri”
Didepan anak-anak ini aku berusaha
mengenalkan diriku dengan bahasa yang mudah mereka mengerti. Sesekali aku
bertanya pada Oji. Sesekali juga dia tertawa melihat aku yang mendadak
kebingungan. Jujur, aku bukanlah seseorang yang bercita-cita menjadi Guru. Aku
juga tidak cukup sabar untuk bisa berhadapan dengan anak-anak. Tak heran kalau
aku sangat takjub pada Oji yang menjadi pendiri sekolah ini. Aku seolah bisa
membayangkan bagaimana pusingnya berhadapan dengan puluhan anak dengan karakter
yang berbeda. Apalagi mereka lebih sering menggunakan bahasa daerah. Pasti
dibutuhkan kesabaran ekstra.
“Jadi kak Putri mau memberikan
kejutan apa untuk adik-adik ini?” ujar Oji seketika membuat aku kelabakan “Mau
mengajar atau memberikan games
mungkin?” lanjut Oji membuat aku semakin panik. Mengajar? Sumpah, aku sama
sekali tak berbakat. Games apalagi.
Bahkan merebut perhatian mereka pun aku tak yakin bisa. Bagaimana kalau mereka
hanya menatapku aneh. Garing. Krik. Krik. Aku tak mau mengubah sekolah ini
menjadi kuburan yang hening.
Setelah berpikir lama, aku tiba-tiba
teringat sesuatu. Aku lantas mengeluarkan kertas origami dari dalam tasku. Aku
memang selalu membawanya kemana-mana.
“Okey adik-adik semua, kali ini kak
Putri mau mengajarkan kalian membuat burung origami” ujarku lalu mulai
membagikan kertas berwarna-warni. Dan sambil melipat aku pun mulai mendongeng.
Mungkin bakatku hanya sebatas ini
“Menurut legenda, kalau kita membuat
seribu burung origami dan menyimpannya dalam toples kaca, maka keinginan kita
akan dikabulkan” aku sengaja memilih bahasa yang paling sederhana agar
anak-anak ini bisa memahami ceritaku.
Ada
dua orang kakak beradik yang sudah tidak memiliki orang tua. Yang mereka
lakukan sehari-hari adalah mengumpulkan barang-barang bekas dan menjualnya
untuk dibelikan makanan. Pada
suatu hari, sang Kakak mengumpulkan kertas koran dari tempat sampah, lalu
mengajari adiknya membuat burung origami. Sang kakak berkata, kalau membuat
seribu burung origami, maka keinginan mereka akan terwujudkan. Lalu sang adik
pun menjadi sangat semangat melipat burung-burung itu.
Hari
demi hari mereka melipat, burung-burung itu pun semakin banyak. Mereka melipat
sambil tertawa-tawa seolah melupakan beban kehidupan yang berat. Hingga suatu
hari datanglah seorang bapak dan sangat tertarik dengan burung-burung itu. Dia
lalu menawari kedua kakak beradik itu untuk menukar burung-burung origami mereka
dengan sepotong roti cokelat.
Awalnya
sang kakak keberatan, dia mengingat semua perjuangan mereka melipat
burung-burung itu. Dia teringat dengan keinginan mereka yang hampir
terwujudkan. Namun melihat sang adik
yang begitu menginginkan roti cokelat, tergiur oleh rasa penasaran, karena
mereka memang belum pernah menyantap roti selezat itu, akhirnya sang kakak
merelakan setoples burung origami yang telah mereka lipat dengan penuh
perjuangan. Dengan tawa canda dan cerita-cerita kehidupan yang sebenarnya tidak
bisa digantikan, bahkan oleh roti cokelat selezat apapun. Tapi demi sang adik,
dia pun merelakan segalanya. Termasuk keinginan mereka yang hampir terwujudkan.
Aku melihat anak-anak itu terdiam
mendengar ceritaku. Entah paham atau malah kebingungan. Oji pun terpaku
disisiku. Mendadak suasana hening. Aku berharap, kelak anak-anak ini tidak akan
menukarkan begitu saja cita-cita mereka dengan sepotong roti cokelat, sekalipun
mereka sangat menginginkannya. Karena kehidupan bukan hanya tentang makanan
yang lezat atau kebahagiaan yang bisa dinikmati sesaat. Mereka butuh pendidikan
untuk bisa bersaing dalam kehidupan. Karena hidup butuh perjuangan.
“Okey, sekarang kita membuat pesawat”
ujarku berusaha memecah hening. Anak-anak itu seolah tersadar dari lamunan
panjang, lantas bersorak kegirangan. Oji membantuku membagikan kertas
berwarna-warni. Lalu mengajari mereka membuat pesawat.
Setelah selesai, Oji dan anak-anak
itu membawaku ke suatu tempat. Dimana aku bisa menyaksikan pemandangan kota
dari kejauhan. Rumah-rumah yang berderet rapi layaknya miniatur yang dilihat
dari pegunungan. Disinilah kita akan menerbangkan pesawat-pesawat penuh harapan
ini
“Sebelum menerbangkannya, kalian
harus membisikkan cita-cita kalian, meniupkannya pada ekor pesawat, lalu
menerbangkannya” ujarku penuh semangat. Anak-anak itu pun menyambutnya dengan tak
sabaran
“Siaaapp...” teriakku. Dan mereka pun
mulai membisikkan cita-cita mereka. Ada yang ingin menjadi dokter seperti Oji.
Ada yang ingin menjadi tentara. Ada yang ingin menjadi guru. Dan entahlah
mungkin ada yang ingin menjadi pendongeng sepertiku.
Lalu dalam hitungan ketiga, pesawat
dari kertas berwarna-warni itu mulai diterbangkan. Meliuk-liuk diterpa angin
menuju lembah, menuju perkotaan dibawah sana. Mengantarkan cita-cita mereka
untuk diwujudkan disuatu masa. Aku melihat Oji sibuk mengabadikannnya dengan
kamera. Ini pasti akan menjadi moment paling berharga. Dimana anak-anak itu
terlihat sangat bahagia, tertawa-tawa, menyaksikan pesawat mereka terbang
dengan sempurna. Diam-diam aku berdoa, semoga semua harapan mereka didengar
oleh Sang Pencipta.
Saat membuka mata, anak-anak itu
sudah berlarian untuk kembali membaca. Hanya ada Oji yang masih sibuk dengan
kameranya. Aku yakin dia sempat mengambil gambar saat aku sedang khusyuk
berdoa. Lalu aku teringat dengan satu pesawat yang sengaja aku buat untuknya
“Kamu belum membisikkan harapan kamu”
ujarku, lalu memberikan pesawat itu padanya. Dia tertawa kecil “Konyol”
ujarnya, tapi tetap meraih pesawat kertas itu dari tanganku. Aku melihat Oji
membisikkan sesuatu, meniupkannya pada ekor pesawat lalu mulai menerbangkannya.
Giliran aku yang mengambil gambarnya. Senyum Oji mengembang seiring dengan
terbangnya pesawat itu. Wajahnya terlihat sangat bahagia. Tulus, seperti
cintanya pada anak-anak itu.
“Jadi, kamu membisikkan harapan apa
tadi?” tanyaku pada Oji. Dia lantas tersenyum
“Aku ingin anak-anak itu tidak
berpikiran kalau dengan tinggal di pegunungan mereka lantas tidak berhak akan
pendidikan. Aku ingin mereka seperti anak-anak lainnya yang memiliki masa
depan” ujarnya membuatku terpana
“Harapan yang sangat mulia” seketika
Oji tertawa mendengar ucapanku
“Inar...” tiba-tiba Oji memanggil
seorang anak yang tanpa sengaja melintas didepan kita. Anak kecil itu kini
berlari menghampiri aku dan Oji
“Kenalkan Put, ini Inar. Dia yang
menginspirasi aku untuk menulis puisi waktu itu” Aku menatap seorang anak kecil
didepanku. Usianya mungkin sekitar tujuh tahun. Kulitnya gelap, sangat kontras
dengan kulit Oji yang putih bersih. Rambutnya sebahu, lurus. Beda dengan
teman-temannya yang cenderung ikal dan keriting. Dia tersenyum padaku. Ramah.
Sorot matanya penuh semangat.
Tentang anak ini Oji sering cerita
padaku. Dia bahkan menuliskan puisi dengan judul Langit Biru untuk Inar, yang aku bacakan saat aku sedang siaran di
Radio membawakan Program Acara Puisi. Mungkin bagi Oji, anak ini sangat
spesial. Dia bahkan sering memasang foto Inar diakun Instagramnya
“Entahlah Put, anak ini membuatku
jatuh cinta. Dia bilang kalau dia juga sayang banget sama aku, tiba-tiba dia
peluk aku dan minta digendong. Kayaknya dia berharga banget” jelas Oji
membuatku terharu. Aku tak menyangka, Oji yang terlihat tangguh ternyata
memiliki sisi melankolis. Bahkan mungkin sedikit romantis
“Kamu tau nggak, anak kecil itu sama
sekali tidak punya bakat buat berbohong tentang perasaannya. Pelukan dia itu
tulus. Ucapan sayangnya benar-benar dari hati. Dan jika dia minta digendong,
itu berarti dia nyaman sama kamu. Beda sama orang dewasa. Mungkin saja kalau
sekarang aku tiba-tiba peluk kamu, itu bukan karena aku tulus, tapi modus.
Karena menurutku, orang dewasa lebih terlatih berbohong tentang perasaannya” ujarku
membuat Oji tertawa
“Soal teman-teman kamu yang
membenci, bahkan menghujat kamu, biarkan saja. Seperti yang pernah kamu bilang,
kalau cinta itu tak berbatas. Bahkan untuk orang-orang yang membenci kita
sekalipun, cinta akan tetap mengalir luas. Jangan menyerah yah Ji, kamu harus
terus berjuang untuk mereka. Untuk Inar dan anak-anak ini”
“Makasih yah Put” Oji tersenyum
menatapku “Aku sendiri tidak tau akan sampai dimana dan sampai kapan aku
bertahan. Yang aku tau, setulus apapun kita berbagi kebaikan, tetap akan ada
yang membenci. Bahkan orang yang kita anggap sahabat sendiri, bahkan orang yang
pernah sangat kita cintai. Orang yang selalu berdiri didepan dan membela kita,
tiba-tiba saja sudah berada dibelakang dan menusuk kita. Sakit..” aku tau
bagaimana sulitnya Oji melewati semua ini. Disaat teman-temannya berkata kalau
semua yang dilakukannya hanyalah pencitraan semata. Bahkan orang yang pernah
mencintainya pun tega melukai perasaannya. Tapi seperti itulah kehidupan.
Bagaimana kita seharusnya bertahan.
Aku dan Oji bangkit, bergegas menuju
anak-anak itu untuk pamit. Langit sore hampir berubah gelap. Semoga saja
kebahagiaan ini tidak ikut lenyap. Seperti matahari yang tenggelam dibarat.
Esoknya dia akan terbit lagi dari tempat yang berbeda. Begitu juga kebahagiaan.
Satu kebahagiaan bisa saja hilang. Tapi besoknya dia akan tergantikan dengan
kebahagiaan lain dari tempat yang berbeda. Seperti itulah kehidupan.
Motor Oji melaju meninggalkan kaki
pegunungan. Membawa setumpuk harapan yang harus terus dia perjuangkan. Bukan
untuknya. Bukan untuk komunitasnya. Tapi demi anak-anak itu. Demi masa depan
mereka. Karena berbuat kebaikan sudah menjadi tanggung jawab kita semua.
Cinta tanpa batas. Dilangit yang terhampar luas. Burung-burung beterbangan bebas, melintas dalam dingin dan panas. Samar yang setipis kertas, jangan biarkan jadi pembatas. Biarkan cinta merangkai jingga disudut-sudut teras. Mengusir cemas, kehidupan-kehidupan ganas. Biarkan cinta menghapusnya tak berbekas. Dengan kasihnya yang maha luas. Karena cinta tak akan pernah berbatas.
Video Clip Cerpen ini bisa nonton di YOUTUBE atau dengarkan lewat SPOTIFY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar