27 Januari 2020

Cerpen "TANGGA CINTA (Ai Qing Tian Ti)"

Suasana dalam bus tidak terlalu padat, kebanyakan berisi para remaja dan beberapa orang dewasa. Ada yang bersandar, tertidur atau sekedar mengobrol ringan dengan teman duduk disebelah. Aku sendiri sengaja memasang earphone, memilih musik bernuansa melow sambil memandangi jalanan. Ini perjalanan pertamaku dari Yongchuan menuju Jiangjing. Setelah melewati satu semester kuliah di Chongqing University of Arts and Sciences, aku akhirnya bisa mengambil liburan. Kali ini aku menuju Jiangjing, ada satu tempat yang ingin aku kunjungi disana. Disebelahku Rio duduk bersandar, dan sepertinya dia tertidur. Sebelumnya dia sempat berkata kalau dia mabuk darat. Apalagi butuh waktu hampir sejam untuk sampai di Jiangjing.

Hampir setahun tinggal di Chongqing aku mulai betah, apalagi masyarakat Chongqing terkenal ramah. Tingkat kriminal disini pun sangat rendah karena kota ini termasuk kota teraman di China. Biaya hidup disini juga lumayan rendah.

Suasana kampus juga tidak kalah nyaman. Lokasi kampus yang jauh dari keramaian membuat mahasiswanya lebih berkosentrasi dalam belajar. Terletak di Distrik Yongchuan, sebuah kota yang berada dikoridor zona ekonomi Chendu-Chongqing. Transportasi yang mudah dan kampus yang menawan, sangat ideal untuk belajar dan melakukan penelitian ilmiah. Apalagi kampus ini berlokasi di kaki Gunung Huanggua dan disamping Danau Weixing yang pemandangannya sangat menawan. Dan yang paling luar biasa, koleksi buku perpustakaannya lebih dari satu juta buku.

Aku beruntung bisa mendapat beasiswa S2 dikampus ini, tentunya dengan perjuangan yang tidak mudah. Butuh pengorbanan dan masih harus melewati dua tahun lagi untuk bisa meraih gelar Master. Tapi aku menikmatinya, meski ada satu hal yang selalu membuatku kangen Indonesia. 

Setelah sempat tertidur beberapa menit, akhirnya bus berhenti dan kita turun di Sungai Youdu. Rio sudah terbangun dan masih sedikit pusing. Aku memintanya untuk istirahat sebentar. Lalu setelah itu kita melanjutkan perjalanan dengan naik motor ke kota kuno Zhongshan dengan tarif 10 Yuan.

Akhirnya kita sampai di Gunung Simian, salah satu dari sepuluh taman hutan terindah di Tiongkok. Seperti yang aku bilang ada satu tempat yang ingin aku kunjungi disini, tapi bukan air terjun Wangxiangtai pada ketinggian 160 meter atau kuil Chaoyuan dan Feilong yang membuat Gunung Simian popular sepanjang tahun. Pegunungan yang terkenal begitu sejuk dimusim panas dan nampak indah dibawah salju saat musim dingin. Aku sebenarnya ingin mengunjungi objek wisata terbaru disini, yaitu Ai Qing Tian Ti atau Tangga Cinta.
            “Jadi ini yah yang bikin kamu penasaran?” tanya Rio yang berdiri disampingku melihat deretan anak tangga yang katanya berjumlah enam ribu ini, terpampang didepan mata kita. Aku memang penasaran dengan anak tangga ini, apalagi setelah mendengar kisah dibaliknya.

Anak tangga ini dibangun oleh Liu Guojiang untuk istrinya Xu Chaoqing. Xu Chaoqing adalah seorang janda beranak empat yang usianya terpaut 10 tahun lebih tua dari Liu Guojiang. Pada saat itu jika ada seorang lelaki mencintai perempuan yang lebih tua, tidak akan bisa diterima oleh masyarakat dan dianggap tidak bermoral. Untuk menghindari celaan masyarakat tersebut, keduanya akhirnya memutuskan untuk meninggalkan desa dan tinggal disebuah gua yang berada dipegunungan Jiangjin, sebelah selatan Chongqing dan menjalani kehidupan terpisah dengan masyarakat. Karena merasa kasihan dengan istrinya untuk naik turun gunung, Liu Guojiang akhirnya memahat anak tangga dengan menggunakan kekuatan tangan dan berlangsung selama lima puluh tahun. Kisah mereka pun dikenal dengan nama ‘Ladder of Love’ dan menjadi ‘sepuluh besar kisah cinta klasik di China’.
            “Sebenarnya aku ingin membawa seseorang kesini” ujarku masih menatap takjub pemandangan didepan mataku saat ini.
            “Perempuan itu?” tebak Rio yang paling tau kisahku. Rio memang teman baikku sejak SMA. Teman berjuangku untuk mendapatkan beasiswa ke China. Entah kenapa aku sangat menyukai Negeri tirai bambu ini, selain karena pepatah ‘tuntutlah ilmu sampai ke negeri China’

Ada seorang perempuan yang sebenarnya ingin sekali aku ajak ke tempat ini. Seorang perempuan yang selalu membuat aku tiba-tiba merindukan Indonesia. Perempuan yang selalu menolak ungkapan cintaku, hanya karena alasan usianya lebih tua sepuluh tahun dariku.
            “Memangnya kamu mau pacaran sama tante-tante?” canda perempuan itu yang selalu membuat aku gerah. Padahal aku tidak pernah mempersoalkan perbedaan usia kita. Lagi pula penampilannya selalu terlihat lebih muda dan cantik. Jika kita jalan berdua, orang-orang tidak akan tau kalau usianya lebih tua sepuluh tahun dariku. Bahkan kadang mereka pikir kita seusia.

Memang sih menurut psikolog, hubungan cinta dengan pasangan yang terpaut jauh usianya bisa memunculkan problematika, salah satunya stigma sosial. Aku tau dia pasti memikirkan apa kata orang-orang jika nanti kita berpacaran. Tapi menurutku, ketika kamu menemukan sosok yang tepat, kamu tidak akan berpikir berapa usianya, atau berpikir apakah dia seusia denganmu atau tidak. Karena cinta tidak bekerja dengan cara seperti itu.
            “Memangnya kenapa kalau aku lebih muda?” tantangku padanya
            “Aku lebih suka lelaki yang dewasa!!” jawabnya membuatku kesal
            “Dewasa bukan soal angka. Dan usia tidak ada hubungannya dengan kedewasaan seseorang”
        “Aku tak mungkin jatuh cinta sama seseorang yang memanggilku kakak” Itu kata-kata pamungkas darinya, yang kadang membuat aku tertawa. Memang lucu juga sih jika nanti kita pacaran dan aku memanggilnya kakak. Tapi itu hanya alasannya saja untuk terus menolakku.
                “Kalau begitu aku panggil kamu sayang..!!” balasku yang justru membuatnya tertawa
            “Tapi perempuan dewasa lebih suka lelaki yang mapan” ujarnya yang akhirnya membuat aku terdiam. Aku tau dia memang seorang perempuan yang sukses dan mapan. Diusianya yang sudah menginjak kepala tiga, dia nyaris memiliki segalanya. Apartemen mewah, mobil, dan karir yang gemilang. Tapi yang membuat aku menyukainya bukan karena dia mapan, tapi lebih karena kemandiriannya. Dia sama sekali bukan tipe perempuan manja yang akan merajuk hanya karena terlambat dijemput. Atau yang bicaranya dibuat-buat saat menginginkan sesuatu. Dimataku, dia seorang Independent Woman yang sering membuat aku insecure. Mungkin saja dia menginginkan lelaki mapan yang se-level dengannya. Dan aku cukup tau diri.

Lalu akhirnya aku mendapat beasiswa ke China. Aku berjanji akan menyelesaikan kuliahku secepatnya dengan nilai sempurna. Aku ingin membuktikan padanya kalau aku bisa menjadi lebih mapan. Kalau aku bukan brondong yang akan menguras kekayaannya. Kalau aku benar-benar sangat mencintainya. Mencintai dia dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Apalagi aku mengenalnya sudah cukup lama. Hampir lima tahun kita bersama, dan dia hanya menganggapku teman biasa.

Aku ingin sekali mengajaknya ketempat ini, lalu menceritakan kisah Liu Guojiang dan istrinya Xu Chaoqing yang terpaut sepuluh tahun, tapi tetap saling mencinta hingga akhir hayat mereka. Aku ingin dia tau bahwa cinta bukan hitungan matematika yang dapat dengan mudah menentukan seorang lelaki sudah dewasa atau belum. Bagiku, usia hanyalah deretan angka tidak bermakna, yang hanya menjadi penanda lamanya seseorang berada didunia.

Untuk apa merealistis usia sedangkan cinta itu lebih nyata adanya. Tak bisakah cinta hanya memandang ketulusan, tanpa mempersoalkan usia? Jika memang usia menjadi syarat untuk jatuh cinta, haruskah cinta mengakhiri perasaan yang bahkan tidak tau cara mengakhirinya? Aku ingin perempuan itu tau bahwa cintaku tulus untuknya, seperti cinta Liu Guojiang pada Xu Chaoqing. Meski mungkin aku tidak bisa memahat enam ribu anak tangga untuknya, tapi aku bisa untuk selalu membuatnya bahagia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar