Suasana dalam bus tidak terlalu padat, kebanyakan berisi para remaja
dan beberapa orang dewasa. Ada yang bersandar, tertidur atau sekedar mengobrol
ringan dengan teman duduk disebelah. Aku sendiri sengaja memasang earphone, memilih musik bernuansa melow sambil
memandangi jalanan. Ini perjalanan pertamaku dari Yongchuan menuju
Jiangjing. Setelah melewati satu semester kuliah di Chongqing University of Arts and Sciences, aku akhirnya bisa
mengambil liburan. Kali ini aku menuju Jiangjing, ada satu tempat yang ingin
aku kunjungi disana. Disebelahku Rio duduk bersandar, dan sepertinya dia
tertidur. Sebelumnya dia sempat berkata kalau dia mabuk darat. Apalagi butuh
waktu hampir sejam untuk sampai di Jiangjing.
Hampir setahun tinggal
di Chongqing aku mulai betah, apalagi masyarakat Chongqing terkenal ramah.
Tingkat kriminal disini pun sangat rendah karena kota ini termasuk kota teraman
di China. Biaya hidup disini juga lumayan rendah.
Suasana kampus juga
tidak kalah nyaman. Lokasi kampus yang jauh dari
keramaian membuat mahasiswanya lebih berkosentrasi dalam belajar. Terletak di Distrik
Yongchuan, sebuah kota yang berada dikoridor zona ekonomi Chendu-Chongqing.
Transportasi yang mudah dan kampus yang menawan, sangat ideal untuk belajar dan
melakukan penelitian ilmiah. Apalagi kampus ini berlokasi di kaki Gunung
Huanggua dan disamping Danau Weixing yang pemandangannya sangat menawan. Dan
yang paling luar biasa, koleksi buku perpustakaannya lebih dari satu juta buku.
Aku beruntung bisa
mendapat beasiswa S2 dikampus ini, tentunya dengan perjuangan yang tidak mudah.
Butuh pengorbanan dan masih harus melewati dua tahun lagi untuk bisa meraih
gelar Master. Tapi aku menikmatinya,
meski ada satu hal yang selalu membuatku kangen Indonesia.
Setelah sempat
tertidur beberapa menit, akhirnya bus berhenti dan kita turun di Sungai Youdu. Rio sudah terbangun dan
masih sedikit pusing. Aku memintanya untuk istirahat sebentar. Lalu
setelah itu kita melanjutkan perjalanan dengan naik motor ke kota kuno
Zhongshan dengan tarif 10 Yuan.
Akhirnya kita sampai
di Gunung Simian, salah satu dari sepuluh taman hutan
terindah di Tiongkok. Seperti yang aku bilang ada satu tempat yang ingin aku
kunjungi disini, tapi bukan air terjun Wangxiangtai pada ketinggian 160 meter
atau kuil Chaoyuan dan Feilong yang membuat Gunung Simian popular sepanjang
tahun. Pegunungan yang terkenal begitu sejuk dimusim panas dan nampak indah dibawah
salju saat musim dingin. Aku sebenarnya ingin mengunjungi objek wisata terbaru
disini, yaitu Ai Qing Tian Ti atau Tangga
Cinta.
“Jadi ini yah yang
bikin kamu penasaran?” tanya Rio yang berdiri disampingku melihat deretan anak
tangga yang katanya berjumlah enam ribu ini, terpampang didepan mata kita. Aku memang
penasaran dengan anak tangga ini, apalagi setelah mendengar kisah dibaliknya.
Anak tangga ini
dibangun oleh Liu Guojiang untuk istrinya Xu Chaoqing. Xu Chaoqing adalah
seorang janda beranak empat yang usianya terpaut 10 tahun lebih tua dari Liu
Guojiang. Pada saat itu jika ada seorang lelaki mencintai perempuan yang lebih
tua, tidak akan bisa diterima oleh masyarakat dan dianggap tidak bermoral.
Untuk menghindari celaan masyarakat tersebut, keduanya akhirnya memutuskan
untuk meninggalkan desa dan tinggal disebuah gua yang berada dipegunungan
Jiangjin, sebelah selatan Chongqing dan menjalani kehidupan terpisah dengan
masyarakat. Karena merasa kasihan dengan istrinya untuk naik turun gunung, Liu
Guojiang akhirnya memahat anak tangga dengan menggunakan kekuatan tangan dan
berlangsung selama lima puluh tahun. Kisah mereka pun dikenal dengan nama ‘Ladder of Love’ dan menjadi ‘sepuluh
besar kisah cinta klasik di China’.
“Sebenarnya aku ingin membawa seseorang kesini” ujarku masih menatap takjub pemandangan didepan mataku saat ini.
“Perempuan itu?” tebak Rio yang paling tau kisahku. Rio memang teman baikku sejak SMA. Teman berjuangku untuk mendapatkan beasiswa ke China. Entah kenapa aku sangat menyukai Negeri tirai bambu ini, selain karena pepatah ‘tuntutlah ilmu sampai ke negeri China’
“Sebenarnya aku ingin membawa seseorang kesini” ujarku masih menatap takjub pemandangan didepan mataku saat ini.
“Perempuan itu?” tebak Rio yang paling tau kisahku. Rio memang teman baikku sejak SMA. Teman berjuangku untuk mendapatkan beasiswa ke China. Entah kenapa aku sangat menyukai Negeri tirai bambu ini, selain karena pepatah ‘tuntutlah ilmu sampai ke negeri China’
Ada seorang perempuan
yang sebenarnya ingin sekali aku ajak ke tempat ini. Seorang perempuan yang selalu
membuat aku tiba-tiba merindukan Indonesia. Perempuan yang selalu menolak
ungkapan cintaku, hanya karena alasan usianya lebih tua sepuluh tahun dariku.
“Memangnya kamu mau pacaran sama tante-tante?” canda perempuan itu yang selalu membuat aku gerah. Padahal aku tidak pernah mempersoalkan perbedaan usia kita. Lagi pula penampilannya selalu terlihat lebih muda dan cantik. Jika kita jalan berdua, orang-orang tidak akan tau kalau usianya lebih tua sepuluh tahun dariku. Bahkan kadang mereka pikir kita seusia.
“Memangnya kamu mau pacaran sama tante-tante?” canda perempuan itu yang selalu membuat aku gerah. Padahal aku tidak pernah mempersoalkan perbedaan usia kita. Lagi pula penampilannya selalu terlihat lebih muda dan cantik. Jika kita jalan berdua, orang-orang tidak akan tau kalau usianya lebih tua sepuluh tahun dariku. Bahkan kadang mereka pikir kita seusia.
Memang sih menurut
psikolog, hubungan cinta dengan pasangan yang terpaut jauh usianya bisa
memunculkan problematika, salah satunya stigma sosial. Aku tau dia pasti
memikirkan apa kata orang-orang jika nanti kita berpacaran. Tapi menurutku,
ketika kamu menemukan sosok yang tepat, kamu tidak akan berpikir berapa
usianya, atau berpikir apakah dia seusia denganmu atau tidak. Karena cinta
tidak bekerja dengan cara seperti itu.
“Memangnya kenapa kalau aku lebih muda?” tantangku padanya
“Aku lebih suka lelaki yang dewasa!!” jawabnya membuatku kesal
“Dewasa bukan soal angka. Dan usia tidak ada hubungannya dengan kedewasaan seseorang”
“Aku tak mungkin jatuh cinta sama seseorang yang memanggilku kakak” Itu kata-kata pamungkas darinya, yang kadang membuat aku tertawa. Memang lucu juga sih jika nanti kita pacaran dan aku memanggilnya kakak. Tapi itu hanya alasannya saja untuk terus menolakku.
“Kalau begitu aku panggil kamu sayang..!!” balasku yang justru membuatnya tertawa
“Tapi perempuan dewasa lebih suka lelaki yang mapan” ujarnya yang akhirnya membuat aku terdiam. Aku tau dia memang seorang perempuan yang sukses dan mapan. Diusianya yang sudah menginjak kepala tiga, dia nyaris memiliki segalanya. Apartemen mewah, mobil, dan karir yang gemilang. Tapi yang membuat aku menyukainya bukan karena dia mapan, tapi lebih karena kemandiriannya. Dia sama sekali bukan tipe perempuan manja yang akan merajuk hanya karena terlambat dijemput. Atau yang bicaranya dibuat-buat saat menginginkan sesuatu. Dimataku, dia seorang Independent Woman yang sering membuat aku insecure. Mungkin saja dia menginginkan lelaki mapan yang se-level dengannya. Dan aku cukup tau diri.
“Memangnya kenapa kalau aku lebih muda?” tantangku padanya
“Aku lebih suka lelaki yang dewasa!!” jawabnya membuatku kesal
“Dewasa bukan soal angka. Dan usia tidak ada hubungannya dengan kedewasaan seseorang”
“Aku tak mungkin jatuh cinta sama seseorang yang memanggilku kakak” Itu kata-kata pamungkas darinya, yang kadang membuat aku tertawa. Memang lucu juga sih jika nanti kita pacaran dan aku memanggilnya kakak. Tapi itu hanya alasannya saja untuk terus menolakku.
“Kalau begitu aku panggil kamu sayang..!!” balasku yang justru membuatnya tertawa
“Tapi perempuan dewasa lebih suka lelaki yang mapan” ujarnya yang akhirnya membuat aku terdiam. Aku tau dia memang seorang perempuan yang sukses dan mapan. Diusianya yang sudah menginjak kepala tiga, dia nyaris memiliki segalanya. Apartemen mewah, mobil, dan karir yang gemilang. Tapi yang membuat aku menyukainya bukan karena dia mapan, tapi lebih karena kemandiriannya. Dia sama sekali bukan tipe perempuan manja yang akan merajuk hanya karena terlambat dijemput. Atau yang bicaranya dibuat-buat saat menginginkan sesuatu. Dimataku, dia seorang Independent Woman yang sering membuat aku insecure. Mungkin saja dia menginginkan lelaki mapan yang se-level dengannya. Dan aku cukup tau diri.
Lalu akhirnya aku
mendapat beasiswa ke China. Aku berjanji akan menyelesaikan kuliahku secepatnya
dengan nilai sempurna. Aku ingin membuktikan padanya kalau aku bisa menjadi
lebih mapan. Kalau aku bukan brondong yang akan menguras kekayaannya. Kalau aku
benar-benar sangat mencintainya. Mencintai dia dengan segala kekurangan dan
kelebihannya. Apalagi aku mengenalnya sudah cukup lama. Hampir lima tahun kita
bersama, dan dia hanya menganggapku teman biasa.
Aku ingin sekali mengajaknya
ketempat ini, lalu menceritakan kisah Liu Guojiang dan istrinya Xu Chaoqing
yang terpaut sepuluh tahun, tapi tetap saling mencinta hingga akhir hayat
mereka. Aku ingin dia tau bahwa cinta bukan hitungan matematika yang dapat
dengan mudah menentukan seorang lelaki sudah dewasa atau belum. Bagiku, usia
hanyalah deretan angka tidak bermakna, yang hanya menjadi penanda lamanya
seseorang berada didunia.
Untuk apa merealistis
usia sedangkan cinta itu lebih nyata adanya. Tak bisakah cinta hanya memandang
ketulusan, tanpa mempersoalkan usia? Jika memang usia menjadi syarat untuk
jatuh cinta, haruskah cinta mengakhiri perasaan yang bahkan tidak tau cara
mengakhirinya? Aku ingin perempuan itu tau bahwa cintaku tulus untuknya,
seperti cinta Liu Guojiang pada Xu Chaoqing. Meski mungkin aku tidak bisa
memahat enam ribu anak tangga untuknya, tapi aku bisa untuk selalu membuatnya
bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar